SURYA SARI ENTERPRISE: KARMA BUMI MENDERA INDONESIA

Kamis, 28 Maret 2019

KARMA BUMI MENDERA INDONESIA


KARMA BUMI  MENDERA  INDONESIA

       Hasil-hasil bumi dieksploitir habis-habisan.  Hutan dibabat secara membabi buta, kandungan mineral diisap dengan penuh kerakusan.  Namun, sayang seribu kali sayang, hasil kekayaan yang diberikan bumi itu tak sepenuhnya dipergunakan untuk memakmurkan umat manusia yang hidup di atasnya.  Sejak merdeka, para penguasa negeri ini tak pernah memberi kemakmuran kepada rakyatnya.

       Yang tampak di depan mata adalah suatu ironi.  Indonesia yang konon negeri kaya raya karena sumber daya alamnya, rakyatnya hidup merana.  Bak pepatah: “Tikus mati di lumbung padi!”  Itulah kenyataan yang terjadi pada rakyat di negeri ini.  Karena takut “mati” di negeri sendiri, maka banyak di antara mereka yang memilih mengadu nasib di negeri orang dengan menjadi buruh kasar, pembantu rumah tangga, sopir, dan bekerja di sektor konstruksi / kuli bangunan (baca: TKI).

       Jika hasil-hasil kekayaan alam negeri ini dikelola secara benar, sudah pasti tak ada rakyatnya yang hidup sebagai “pembantu” di negeri orang.  Konon hutan kita yang sedemikian luas cukup untuk memberi kehidupan yang layak.  Belum lagi hasil-hasil migas kita yang melimpah ruah, yang jika dikelola dengan benar akan sanggup membuat kita hidup seperti “menak”, bukan sebagai “pengemis” di mata bangsa lain.

       Tapi sekali lagi, semua itu mungkin terjadi jika semuanya dikelola dengan benar dan penuh rasa tanggungjawab.  Kini yang terjadi adalah kebalikannya.  Berpuluh BUMN yang diberi kuasa mengelola sumber daya alam (SDA) rata-rata bermasalah dan mbalelo.  Sebutlah PERTAMINA, BUMN terbesar di sektor migas.  Sudah puluhan tahun perusahaan yang berlambang kuda laut kembar ini menjadi sarang korupsi.  Bahkan, korupsi seperti sudah menjadi kanker ganas di lembaga ini.

       Jika kita mengaku sebagai negara dengan pemeluk Islam terbesar di dunia, hasil-hasil kekayaan alam seperti barang tambang merupakan harta terpendam (Rikaz) yang semestinya harus dikeluarkan zakatnya sebesar 20 persen.  Zakat tersebut dapat berupa kompensasi langsung kepada rakyat, misalkan saja disalurkan di sektor pendidikan.  Coba bayangkan, andai semua BUMN – terutama yang mengelola sumber daya alam – diwajibkan menyetor 20 persen keuntungannya untuk mensejahterakan dunia pendidikan kita, seperti yang ditempuh pemerintah Malaysia, pastilah pendidikan kita tidak merana seperti sekarang ini.  Yang terjadi justru BUMN-BUMN tersebut hanya menjadi sapi perah bagi oknum-oknum pengelolanya.  Jangankan berbagi “zakat”, yang kerap kita dengar justru adalah cerita tentang kerugian yang sungguh tidak masuk akal.

       Kenyataan yang penuh keberpura-puraan dan tidak bertanggungjawab itu, sungguh tepat bila akhirnya membuat bumi bereaksi dengan karma negatif.  Bencana pun mendera negeri tercinta ini, karena bumi sebagai makhuk-Nya juga berhak memberi teguran kepada manusia yang telah berbuat semena-mena terhadap dirinya.  Bahkan mungkin saja bumi ingin mengulang lagi sejarahnya, seperti ketika Tuhan menghancurkan makhluk pendurhaka sebelum menciptakan Adam as sebagai nenek moyang bangsa manusia.

       “Barangsiapa berbuat baik maka kebaikanlah yang diterimanya, dan barangsiapa berbuat buruk maka keburukan juga yang diterimanya.”  Atau,  “Siapa menebar angin, dia akan menuai badai.”

                                            Demikianlah bunyi hukum karma semesta. 
       Kita telah menyakiti alam dengan cara-cara yang sangat licik.  Kekayaan terus dihabisi, tapi tidak untuk memakmurkan anak-anak Adam sebagai khalifah yang hidup di atasnya.  Memang, tidak semua kita berbuat seperti itu.  Tapi, ketika alam menunjukkan kekuatan karmanya, maka dia selalu punya cara rahasia yang semestinya harus kita terjemahkan dengan jernih.