KARMA BUMI MENDERA INDONESIA
Hasil-hasil bumi dieksploitir
habis-habisan. Hutan dibabat secara
membabi buta, kandungan mineral diisap dengan penuh kerakusan. Namun, sayang seribu kali sayang, hasil
kekayaan yang diberikan bumi itu tak sepenuhnya dipergunakan untuk memakmurkan
umat manusia yang hidup di atasnya.
Sejak merdeka, para penguasa negeri ini tak pernah memberi kemakmuran
kepada rakyatnya.
Yang tampak di depan mata adalah suatu
ironi. Indonesia yang konon negeri kaya
raya karena sumber daya alamnya, rakyatnya hidup merana. Bak pepatah: “Tikus mati di lumbung
padi!” Itulah kenyataan yang terjadi
pada rakyat di negeri ini. Karena takut
“mati” di negeri sendiri, maka banyak di antara mereka yang memilih mengadu
nasib di negeri orang dengan menjadi buruh kasar, pembantu rumah tangga, sopir,
dan bekerja di sektor konstruksi / kuli bangunan (baca: TKI).
Jika hasil-hasil kekayaan alam negeri
ini dikelola secara benar, sudah pasti tak ada rakyatnya yang hidup sebagai
“pembantu” di negeri orang. Konon hutan
kita yang sedemikian luas cukup untuk memberi kehidupan yang layak. Belum lagi hasil-hasil migas kita yang
melimpah ruah, yang jika dikelola dengan benar akan sanggup membuat kita hidup
seperti “menak”, bukan sebagai “pengemis” di mata bangsa lain.
Tapi sekali lagi, semua itu mungkin
terjadi jika semuanya dikelola dengan benar dan penuh rasa tanggungjawab. Kini yang terjadi adalah kebalikannya. Berpuluh BUMN yang diberi kuasa mengelola
sumber daya alam (SDA) rata-rata bermasalah dan mbalelo. Sebutlah PERTAMINA, BUMN terbesar di sektor
migas. Sudah puluhan tahun perusahaan
yang berlambang kuda laut kembar ini menjadi sarang korupsi. Bahkan, korupsi seperti sudah menjadi kanker
ganas di lembaga ini.
Jika kita mengaku sebagai negara dengan
pemeluk Islam terbesar di dunia, hasil-hasil kekayaan alam seperti barang
tambang merupakan harta terpendam (Rikaz) yang semestinya harus dikeluarkan
zakatnya sebesar 20 persen. Zakat tersebut
dapat berupa kompensasi langsung kepada rakyat, misalkan saja disalurkan di
sektor pendidikan. Coba bayangkan, andai
semua BUMN – terutama yang mengelola sumber daya alam – diwajibkan menyetor 20
persen keuntungannya untuk mensejahterakan dunia pendidikan kita, seperti yang
ditempuh pemerintah Malaysia, pastilah pendidikan kita tidak merana seperti
sekarang ini. Yang terjadi justru
BUMN-BUMN tersebut hanya menjadi sapi perah bagi oknum-oknum pengelolanya. Jangankan berbagi “zakat”, yang kerap kita
dengar justru adalah cerita tentang kerugian yang sungguh tidak masuk akal.
Kenyataan yang penuh keberpura-puraan
dan tidak bertanggungjawab itu, sungguh tepat bila akhirnya membuat bumi
bereaksi dengan karma negatif. Bencana
pun mendera negeri tercinta ini, karena bumi sebagai makhuk-Nya juga berhak
memberi teguran kepada manusia yang telah berbuat semena-mena terhadap
dirinya. Bahkan mungkin saja bumi ingin
mengulang lagi sejarahnya, seperti ketika Tuhan menghancurkan makhluk
pendurhaka sebelum menciptakan Adam as sebagai nenek moyang bangsa manusia.
“Barangsiapa
berbuat baik maka kebaikanlah yang diterimanya, dan barangsiapa berbuat buruk
maka keburukan juga yang diterimanya.”
Atau, “Siapa menebar angin, dia
akan menuai badai.”
Demikianlah bunyi hukum karma semesta.
Kita telah menyakiti alam dengan
cara-cara yang sangat licik. Kekayaan
terus dihabisi, tapi tidak untuk memakmurkan anak-anak Adam sebagai khalifah
yang hidup di atasnya. Memang, tidak
semua kita berbuat seperti itu. Tapi,
ketika alam menunjukkan kekuatan karmanya, maka dia selalu punya cara rahasia
yang semestinya harus kita terjemahkan dengan jernih.