SURYA SARI ENTERPRISE: Filosofi Akan

Rabu, 26 Juni 2019

Filosofi Akan


Filosofi Akan


            Ungkapan mesianistik yang sarat harapan sudah melengking di udara Nusantara sejak tahun 1945, yang intinya kira-kira berbunyi: “Di seberang jembatan emas kemerdekaan kita akan membangun masyarakat adil makmur, gemah ripah loh jinawi, murah sandang, murah pangan, cukup papan.”  Ungkapan ini pulalah yang kemudian diabadikan dalam Pancasila sebagai sila kelima dengan susunan redaksi yang berbeda, tapi substansinya sama, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”  Sila ini masih sering diulang untuk tujuan-tujuan pragmatis, tetapi dalam kenyataan empiriknya sudah lama terkapar dan tersungkur di medan pertarungan politik kekuasaan dan ekonomi negeri ini.
            Perhatikan kalimat ini:  “kita akan membangun.”  Ternyata perkataan “kita akan” telah berumur hampir 62 tahun dalam konteks sejarah kemerdekaan Indonesia, tetapi peta kemiskinan tidak semakin menciut, malah bertambah lebar.  Tahun 2006 BPS menurunkan angka 39,05 juta, tahun 2007 diperkirakan menjadi 42 juta dengan rincian tambahan 2,3 juta penganggur baru plus 200.000 korban musibah alam yang terus saja berjatuhan.  Di pucuk piramida peta kemiskinan itu, bertenggerlah manusia kaya yang berjumlah sekitar 3% (6.750.000) dari 225 juta penduduk Indonesia.
            Di bawah angka itu terdapat pula lapisan kelas menengah atas dan menengah bawah, yang berjumlah sekitar 176.250.000.  penghasilan rakyat miskin bergerak dari angka US$ 0 hingga US$ 2 (Rp 18.000) per hari.  Si kaya yang menempati pucuk piramida berpenghasilan Rp 2.000.000.000 sampai 3.000.000.000 per bulan, sedangkan kelas menengah atas Rp 20.000.000 hingga Rp 1.500.000.000 per bulan.  Di bawah angka ini, ada lapisan kelas menengah bawah dengan penghasilan Rp 1.000.000 sampai Rp 19.000.000 per bulan.
            Angka-angka itu berdasarkan perkiraan kasar saja yang belum tentu persis begitu.  Tetapi konfigurasi angka penghasilan itu sedikit banyak sudah menunjukkan disparitas yang sangat tajam antara si kaya dan si miskin yang belum berubah sejak zaman penjajahan di sebuah negeri yang dulu kaya dengan sumber-sumber alam ini.  Peribahasa Melayu “ayam bertelur di atas padi mati kelaparan; itik berenang dalam air mati kehausan” masih tetap relevan dalam menggambarkan kondisi kemiskinan rakyat kita.
            Siapa yang bertanggung jawab atas peta kemiskinan ini?  Alam yang sering meluncurkan musibah berupa gempa, tsunami, banjir, dan yang berkaitan dengan itu jelas menjadi faktor pula bagi kemiskinan ini, tetapi hanyalah sekitar 15%.  Faktor dominan yang 85% tetaplah berada di pundak manusia, ya kita ini semua yang tidak pandai memelihara amanah berupa kemerdekaan sejak lebih dari 60 tahun lalu.  Tentu yang paling depan adalah barisan pemimpin yang tetap saja terpaku dan terpasung dalam kata “akan”, sementara kata “sudah” masih jauh panggang dari api.
            Janji-janji pemilu hanyalah mengikuti filosofi “akan” itu, sementara rakyat miskin tidak jarang pula terhipnotis oleh retorika politik yang amoral ini, tidak lupa dipayungi oleh kutipan-kutipan firman suci.  Inilah wajah kita, wajah palsu yang tidak ragu-ragu dipakai untuk menipu rakyat yang juga terjangkit penyakit amnesia (mudah lupa).  Untuk Indonesia, penyakit ini disebabkan impitan penderitaan berkepanjangan, hampir-hampir tak tertahankan lagi.  Kemerdekaan yang disia-siakan inilah yang jadi penyebab utama mengapa Benua Kepulauan (istilah M.T. Zen) yang elok ini telah lama menjadi permainan kekuatan-kekuatan asing karena mereka tahu betul bahwa struktur mental kita memang telah membusuk dan keropos dari dalam.  Pejabat dan aparat sangat mudah disogok!
            Memang masih banyak warga yang siuman, tetapi terbenam di bawah arus deras mumpungisme dan filosifi ikan lele: semakin keruh air, semakin rakus dan lahap pula cara ia makan.  Inilah Indonesia, bangsa muslim terbesar di muka bumi, yang kini sedang menjadi tontonan dunia, sementara kebanyakan politisi kita adalah manusia lapar terhadap benda dan kekuasaan.  Siang-malam obsesinya ialah agar tetap memegang posisi melalui cara apa pun.
            Untuk meraih semuanya itu, trik dan siasat culas bukanlah barang aneh untuk dilakukan, sementara mulut komat-kamit dalam berzikir dengan untaian tasbih panjang di tangan.  Inilah panorama kumuh dan kusam yang terlihat nyata di mana-mana, di seluruh sudut Tanah Air, hampir tanpa kecuali.  Tidak peduli suku dan agama apa pun, lakunya serupa: mengintip benda dan kuasa dengan mata melotot.
            Akhirnya, selama “filosofi akan” masih berhenti pada terminal janji, selama itu pulalah lautan kemiskinan dan ketidakpastian akan tetap mendera bangsa ini menuju sebuah titik negara gagal yang tak terbayangkan akibat fatalnya.  Si kaya akan semakin terancam, si miskin akan berbuat apa saja demi survival.  Oleh sebab itu, seluruh kekuatan hati nurani harus bersatu dan menyatu untuk mencegah kemungkinan serba hitam itu, agar tidak semakin melulur tubuh dan hati bangsa yang sama kita cintai ini.  Sebuah Indonesia yang berdaulat, ramah, adil, dan makmur tetaplah menjadi tumpuan harapan kita semua.  Ke sanalah mestinya kapal republik ini bergerak dan melaju.

PERSPEKTIF Ahmad Syafii Maarif – Cendikiawan muslim, guru besar sejarah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar