SURYA SARI ENTERPRISE: Indonesia di Komunitas Dunia

Senin, 18 Maret 2019

Indonesia di Komunitas Dunia

Indonesia di Komunitas Dunia 
Michael S. Sunggiardi 


Awal 2007, Indonesia kedatangan serangkaian acara yang berhubungan dengan teknologi informasi dan komputer. Mulai dari yang sifatnya dari grass root, sampai yang mainnya di dalam level kebijaksanaan dan bicara soal masa depan. Dari semua kejadian yang sangat menggembirakan ini, terbersit satu hal yang rasanya masih mengganjal sehubungan dengan semua acara heboh ini, yaitu keadaan per-internet-an kita yang masih kacau balau dan harga yang juga masih bertengger di kelas yang belum terjangkau oleh semua pihak. 

Keadaan per-internet-an di Indonesia sudah jauh lebih baik ketimbang 13 tahun yang lalu. Pada saat itu ISP berbasis swasta memperkenalkan layanannya dengan menggunakan Winsock dari Windows dengan protokol SLIP (Serial Line Internet Protocol) untuk menyambung ke Internet dan menggunakan program PINE (Program for Internet News & Email) yang dikembangkan oleh University of Washington sebagai e-mail client-nya. 

Hanya saja, kemajuan perkembangan Internet di Indonesia tidak secepat negara lain, Singapura atau Malaysia misalnya. Malah pada tahun 1996 penulis “mengajarkan” kawan-kawan dari Jerman tentang membangun ISP dan membuat jaringan Internet, tapi lima tahun kemudian Internet di Jerman sudah jauh lebih maju dari Indonesia. 

Sumber mandegnya kemajuan Internet di Indonesia adalah sistem pendidikan kita yang mengacu hanya melulu pada hafalan dan dogma kuno. Kemudian juga ketidakseriusan pemerintah untuk mengatur perkembangan teknologi informasi ini dengan konsisten, dan tidak berpihak kepada kepentingan rakyat banyak, serta ketidakmampuan membangun dan mengelola infrastruktur penunjang jaringan Internet. Ujungnya, Internet di Indonesia menjadi mahal, tidak terjangkau, dan tidak dipedulikan oleh masyarakat. 

Kembali lagi pada kegiatan aktivis Internet Indonesia yang dapat dibanggakan di skala internasional, dengan mengacu pada keadaan kacau balau di dalam negeri. Kita semua malu dan tidak semestinya membanggakan keburukan dan semua sisi negatif yang terjadi. Misalnya beberapa tahun lalu, penulis dari Srilanka membuat laporan amat menyedihkan tentang perkembangan Internet di Indonesia. 

Begitu melihat laporan tersebut, berbagai pihak mulai unjuk gigi untuk menjadi pahlawan dan mulai melakukan manuver. Tetapi hasilnya masih belum dapat dibanggakan, ketimbang negara tetangga yang dulu banyak belajar dari orang-orang pintar di Indonesia. 

Keikutsertaan Indonesia di dunia teknologi informasi internasional sangat menyedihkan, karena dalam skala bangsa kita tidak dapat membanggakan diri. Tapi secara individu atau kelompok, bangsa kita tidak kalah dan malah banyak yang menonjol. Di sisi lain, Indonesia juga tenar sebagai pembajak kelas wahid dan banyaknya jumlah pembayar kartu kredit “bodong” yang sering menyebabkan masalah. 

Pahlawan-pahlawan yang memopulerkan Indonesia di dunia teknologi informasi masih sangat minim, karena selain wawasan yang tidak luas, kebanyakan praktisi dan ahli komputer Indonesia tidak mampu bekerja konsisten dan berdaya tahan tinggi. Sering kita dengar, beberapa kali ahli komputer dari Indonesia akhirnya harus lari ke dunia lain, hingga seluruh keahlian dan pekerjaannya harus di “reset” dan jalan di jalur yang sangat berbeda. 

Ahli-ahli komputer di Indonesia jaran juga yang mau membagi ilmu secara konsisten, entah itu dengan pertimbangan pendapatannya yang sangat tidak memadai, atau karena faktor takut tersaingi yang sering kali membuat mundur bangsa ini. Dari awal masuknya perkembangan komputer di sekitar tahun 80-an sampai sekarang, atau sudah sekitar 27 tahun berjalan, hanya terhitung sekitar 10 ahli dan praktisi komputer yang mau berbagi ilmu dan menyediakan dirinya sebagai nara sumber yang tidak habis-habisnya. 

Orang Indonesia, baik di dalam negeri maupun di luar negeri cukup punya potensi untuk memajukan Indonesia. Tetapi sayangnya, semua usaha tidak didukung oleh pemerintah dan peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga akhirnya mereka jalan sendiri. Dan bagi yang sudah mapan di negeri orang, mereka enggan balik ke Indonesia yang tidak kondusif terhadap keberadaannya.


Kata Kunci untuk Artikel Ini

  • indonesia di komunitas dunia