Jamaah Islamiyah
Z.A. Maulani*
Jum’at 30 April 2004,
pukul 07.00, Ustad Abu Bakar Ba’asyir akan bebas dari hukuman 18 bulan, yang
telah dijalaninya sejak Mei 2003. Tetapi Polri justru sedang menyiapkan untuk
menahan dan menuntutnya lagi. Tentang alasan penuntutan ulang itu, Ka Bareskrim
Polri Komjen Polisi Suyitno Landung mengatakan, “Ba’asyir sebagai pimpinan
organisasi yang banyak melakukan teror di Indonesia.” Lagi pula, katanya,
“Beberapa kegiatan teror yang sudah dilakukan sudah kita tahu. Ya, bom bali,
bom Marriott, dan lain-lainnya” (Republika, 17 April 2004, “Deplu:
Amerika Intervensi”).
Yang membuat geger
masyarakat, keterangan itu sesuai benar dengan pernyataan Duta Besar (Dubes)
Amerika Serikat Ralph L. Boyce sebelumnya, bahwa Amerika telah meminta kepada
Indonesia (Polri) untuk melakukan re-trial atas Ustad Abu Bakar
Ba’asyir, karena telah ditemukan sekitar 125 novum berdasarkan hasil interogasi
terhadap Hambali. Boyce bahkan telah menghubungi beberapa tokoh Islam untuk
meminta dukungan untuk melobi Polri dan Kejaksaan Agung (Republika, 28 Maret 2004,
“Resonansi: Syafii Ma’arif”). Karena itu, barangkali Kapolri Da’i Bachtiar
merasa perlu meralat pernyataan bawahannya bahwa status tersangka Ustad Abu
Bakar Ba’asyir “masih dalam penyelidikan”. Boyce sendiri sibuk kiri-kanan
memberikan diplomatic denial terhadap berita-berita yang mengecam dubes
Boyce – intervensi terhadap kedaulatan hukum Indonesia.
Re-trial itu sendiri sulit dilaksanakan, mengingat novum
itu hasil interogasi yang tidak dibawah yurisdiksi dan prosedur hukum nasional Indonesia .
Tetapi, saya kira, polisi tidak akan kekurangan saksi dari dalam negeri. Pada
21 September 2003 di depan 50 anggota F-Reformasi DPR-RI, Idrus, aktivis
tahanan polisi, dengan fasih menyatakan peledakan bom selama ini dilakukan oleh
Jamaah Islamiyah (JI). Demikian juga Nasir Abbas, pada tayangan sebuah TV
swasta yang di-prerecorded tentang peran Ustad Abu Bakar Ba’asyir mengotaki
dan mendanai serangan bom Bali. Bagi masyarakat, susah mencerna tuduhan
terhadap seorang yang telah tua-renta dan papa, seorang ulama dengan pembawaan
teduh, tetapi teguh pada pendiriannya.
Tentang awal berdirinya
JI 1985, Yaitu tahun puncak perlawanan rakyat Afghanistan melawan Uni Soviet,
Abdullah Sungkar dan Ustad Abu Bakar Ba’asyir berkunjung dengan fasilitas dari
Inter-Service Intelligence (ISI) Pakistan, yang waktu itu diketahui dibawah
koordinasi CIA. Di Karachi, kedua da’i Indonesia itu dijemput oleh beberapa
orang mujahid Indonesia dan seorang agen dari ISI. Mereka langsung diantar ke
Peshawar. Di sebuah “kawasan tak bertuan” diperbatasan Pakistan-Afghanistan,
keduanya dipertemukan dengan Osama bin Laden. Konon menurut Rohan Gunaratna,
ditempat itulah Osama menyarankan agar membentuk organisasi JI di Asia Tenggara
(Dr. Rohan Gunaratna, Inside Al Qaeda: Global Network of Terror, Hurst & Company, London, 2002).
Namun semuanya itu masih
“katanya”. Osama bin Laden, yang waktu itu masih berperan sebagai proxy
CIA untuk melawan Uni Soviet, membutuhkan sebuah organisasi yang dipimpin oleh
alim-ulama Islam yang karismatis untuk dapat menarik sebanyak mungkin rekrut
dari aktivis muslim untuk berjihad melawan kafir Rusia di Afghanistan.
Itu
pula sebabnya, dengan garansi dari dinas rahasia ISI Pakistan, Malaysia
memberikan i.d.kad hijau (KTP permanen) dan kebebasan berdakwah di seluruh
wilayah kerajaan. Pada 1998, Abdullah Sungkar dan Ustad Abu Bakar Ba’asyir
kembali ke Indonesia atas kemauan sendiri ketika iklim politik di Indonesia
berubah dengan dicabutnya undang-undang asas tunggal yang menjadi alasan
mengapa mereka hijrah ke Malaysia. Yang perlu dicatat, selama 13 tahun
(1985-1998) mereka tidak pernah dikejar-kejar oleh undang-undang Kamdagri Malaysia
yang sangat keras itu, baik sebagai kriminal maupun karena JI dianggap sebagai
organisasi terlarang. Baru setelah peristiwa 11-9, ketika Presiden Bush
mencanangkan “perang membasmi terorisme di seluruh dunia”, organisasi JI yang
tadinya direstui CIA dinyatakan sebagai organisasi “berbahaya”.
Kepentingan Amerika
berubah. Nasib Ustad Abu Bakar Ba’asyir pasca-11-9 berubah. Jauh sebelum
peristiwa 11-9, tiga think-tanks lobi Yahudi, the Council
for Foreign Relation (CFR) menerbitkan dokumennya pada Mei 2001, RAND
Corporation menyusul dengan judul The Role of South-East Asia in US Strategy
Toward China pada Juni 2000, dan
yang ketiga, the Project for the New American Century (PNAC), yang dimotori
oleh Paul Wolfowitz, memukul gongnya dengan judul Rebuilding America’s Defenses
pada september 2000. Yang secara susul-menyusul menyerahkan hasil study
tersebut kepada Presiden Bush. Ketiga dokumen itu secara khusus menyorot
politik-strategi Amerika terhadap Asia Tenggara dan dampaknya dengan
kebangkitan Cina.
CFR mengingatkan Bush
bahwa Indonesia, negara Asia satu-satunya sebagai anggota OPEC, tercatat
mengekspor 20% dari LNG dunia, sementara cadangannya belum sepenuhnya
diketahui. Ladang-ladang minyak dan gas bumi yang baru di Malaysia, Vietnam,
dan Filipina masih terus ditemukan (Peter Symonds, Why Has South East Asia Become
the Second Front in Bush’s War Against Terrorism, www.wsws.org, 31
Agustus 2003).
Bahasan itu dilanjutkan
oleh RAND Corporation dengan nasihat tentang pentingnya Amerika mencegah
penetrasi kekuatan ketiga, yakni Cina, kekawasan tersebut, dan untuk itu
perlunya menempatkan kekuatan militer Amerika. “Prioritas (kebijakan) Amerika
Serikat harus diletakkan pada penjagaan keamanan kawasan melalui pencegahan
konflik (karena) dominasi oleh satu atau koalisi kekuatan luar. Pemerintah
(Amerika Serikat) perlu memelihara kehadiran militer yang andal” (Peter
Symonds, ibid).
RAND melanjutkan
provokasinya bahwa, “Kebangkitan Cina sebagai negara besar di kawasan itu dalam
waktu 10 sampai 15 tahun ke depan akan dapat mengintensifkan persaingan dan
meningkatkan kemungkinan konflik bersenjata antara Amerika Serikat dan Cina di
Asia Tenggara. Amerika Serikat dewasa ini merupakan kekuatan ekstra-regional
yang dominan di Asia Tenggara.... Pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Pasifik,
yang penting bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan Amerika Serikat dan
negara-negara sekutunya akan bergantung pada bagaimana memelihara kehadiran dan
pengaruhnya dikawasan itu serta akses tanpa hambatan ke jalur-jalur lautnya”
(Peter Symonds, ibid). Perhatikan diktum tentang “akses tanpa hambatan ke
jalur-jalur lautnya”, yang disarankan oleh RAND, perlunya menguasai choke
points, yaitu selat-selat dilautan dalam Indonesia, antara lain yang
terpenting Selat Malaka.
Seperti halnya dokumen
CFR dan RAND, dokumen PNAC pun secara khusus menyoroti bangkitnya Cina dengan
menyatakan, “Amerika Serikat harus mampu mencegah negara lain (Cina jangan
sampai menantang kepemimpinan Amerika Serikat, atau bahkan bercita-cita untuk
menjalankan peran regional atau global yang lebih besar)”. Dokumen PNAC itu
melanjutkan, “Kini sudah tiba waktunya untuk meningkatkan kehadiran bala
tentara Amerika Serikat di Asia Tenggara”, (the Guardian, London, edisi 6
September,2003).
Akhirnya, the Heritage
Foundation, sebuah kelompok ultra-sayap-kanan Yahudi yang memiliki hubungan
erat dengan Partai Republik, pada Oktober 2002 menyatakan dengan tegas bahwa,
“Alasan melancarkan perang membasmi terorisme di Asia Tenggara pada akhirnya
harus dikerjakan, dengan atau tanpa persetujuan pemerintah-pemerintah dikawasan
ini” (Dana Dillon dan Paolo Pascolan, The South-East Asia and War Against
Terrorism, Oktober 2000).
Pada 1999, Abdullah
Sungkar berpulang. Banyak pihak menduga, Ustad Abu Bakar Ba’asyir, konon karena
kedekatannya dengan Abdullah Sungkar, meneruskan kepemimpinan JI. Amerika
Serikat juga menyangka demikian. (Menurut Gunaratna, kepemimpinan JI di
lapangan sebenarnya berada di tangan Hambali, alias Ridwan, alias Cecep).
Bersamaan dengan itu, peristiwa 11-9 terjadi, yang oleh kalangan neo-kon di
Washington dimanfaatkan. Kalau “perang membasmi terorisme” dijadikan pretext
untuk menguasai Timur Tengah yang disebut Amerika sebagai “the largest fuel station in the
world”, maka untuk Asia Tenggara udang dibalik batunya adalah mencegah
cina masuk ke Asia Tenggara, di mana juga terdapat cadangan minyak dan gas bumi
yang sampai sekarang belum dapat ditaksir potensinya.
Untuk dapat masuk ke
Asia Tenggara, harus ada alasan “membasmi terorisme”. JI yang dulu direstui
CIA, sesudah 11-9, dijadikan “hantu” untuk menakut-nakuti, kemudian menggiring
negara-negara di kawasan Asia Tenggara ke bawah komando Amerika. Khususnya kaum
muslimin di Indonesia dan Ustad Abu Bakar Ba’asyir dijadikan tumbal untuk nafsu
Amerika membangun hegemoninya di kawasan tersebut.
Setelah bom Bali 12-10
meledak, semuanya berubah. Seluruh kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia,
siap berada di bawah komando Amerika untuk “membasmi terorisme”, khususnya
membasmi Jamaah Islamiyah. Tentang bom bali itu, seorang kapten tentara
Australia yang kebetulan berada di situs kejadian bersaksi, tak pelak lagi: “the
bomb to be a micro-nuclear device”.
Seorang ahli terorisme, Joe Vialls, memberikan
komentar setelah pengadilan menerima pernyataan polisi bahwa bom tersebut
terbuat dari “karbid” dengan campuran “pupuk”, menyarankan agar Amrozi
seharusnya dipertimbangkan benar untuk menjadi kandidat penerima Hadiah Nobel
Bidang Fisika. Meski ia dengan geram menyatakan “hanya idiot yang percaya kalau
bom itu konvensional” (W. Tiwon, A Medley of Miscellanea).
Kini, oleh Dubes Amerika
Serikat Boyce, Ustad Abu Bakar Ba’asyir yang tua renta dan papa itu diminta
disidangkan kembali, karena dituduh menjadi otak, pemimpin, dan penyandang dana
bom Bali. Untuk itu, barangkali Ustad Abu Bakar Ba’asyir perlu mengulang
kembali tuntutan Ketua MPR Amien Rais agar Polri melakukan rekonstruksi untuk meyakini
bahan-ledak dari jenis apa yang digunakan di Legian. Wallahualam.
*MANTAN KEPALA BAKIN
© 2004 Retyped
by Pakne WSR.
From GATRA magazine NO.25
TAHUN X · 8 MEI 2004
Page 32-33