SURYA SARI ENTERPRISE: Jamaah Islamiyah

Kamis, 14 Maret 2019

Jamaah Islamiyah


Jamaah Islamiyah
Z.A. Maulani*

Jum’at 30 April 2004, pukul 07.00, Ustad Abu Bakar Ba’asyir akan bebas dari hukuman 18 bulan, yang telah dijalaninya sejak Mei 2003. Tetapi Polri justru sedang menyiapkan untuk menahan dan menuntutnya lagi. Tentang alasan penuntutan ulang itu, Ka Bareskrim Polri Komjen Polisi Suyitno Landung mengatakan, “Ba’asyir sebagai pimpinan organisasi yang banyak melakukan teror di Indonesia.” Lagi pula, katanya, “Beberapa kegiatan teror yang sudah dilakukan sudah kita tahu. Ya, bom bali, bom Marriott, dan lain-lainnya” (Republika, 17 April 2004, “Deplu: Amerika Intervensi”).

Yang membuat geger masyarakat, keterangan itu sesuai benar dengan pernyataan Duta Besar (Dubes) Amerika Serikat Ralph L. Boyce sebelumnya, bahwa Amerika telah meminta kepada Indonesia (Polri) untuk melakukan re-trial atas Ustad Abu Bakar Ba’asyir, karena telah ditemukan sekitar 125 novum berdasarkan hasil interogasi terhadap Hambali. Boyce bahkan telah menghubungi beberapa tokoh Islam untuk meminta dukungan untuk melobi Polri dan Kejaksaan Agung (Republika, 28 Maret 2004, “Resonansi: Syafii Ma’arif”). Karena itu, barangkali Kapolri Da’i Bachtiar merasa perlu meralat pernyataan bawahannya bahwa status tersangka Ustad Abu Bakar Ba’asyir “masih dalam penyelidikan”. Boyce sendiri sibuk kiri-kanan memberikan diplomatic denial terhadap berita-berita yang mengecam dubes Boyce – intervensi terhadap kedaulatan hukum Indonesia.

Re-trial itu sendiri sulit dilaksanakan, mengingat novum itu hasil interogasi yang tidak dibawah yurisdiksi dan prosedur hukum nasional Indonesia. Tetapi, saya kira, polisi tidak akan kekurangan saksi dari dalam negeri. Pada 21 September 2003 di depan 50 anggota F-Reformasi DPR-RI, Idrus, aktivis tahanan polisi, dengan fasih menyatakan peledakan bom selama ini dilakukan oleh Jamaah Islamiyah (JI). Demikian juga Nasir Abbas, pada tayangan sebuah TV swasta yang di-prerecorded tentang peran Ustad Abu Bakar Ba’asyir mengotaki dan mendanai serangan bom Bali. Bagi masyarakat, susah mencerna tuduhan terhadap seorang yang telah tua-renta dan papa, seorang ulama dengan pembawaan teduh, tetapi teguh pada pendiriannya.

Tentang awal berdirinya JI 1985, Yaitu tahun puncak perlawanan rakyat Afghanistan melawan Uni Soviet, Abdullah Sungkar dan Ustad Abu Bakar Ba’asyir berkunjung dengan fasilitas dari Inter-Service Intelligence (ISI) Pakistan, yang waktu itu diketahui dibawah koordinasi CIA. Di Karachi, kedua da’i Indonesia itu dijemput oleh beberapa orang mujahid Indonesia dan seorang agen dari ISI. Mereka langsung diantar ke Peshawar. Di sebuah “kawasan tak bertuan” diperbatasan Pakistan-Afghanistan, keduanya dipertemukan dengan Osama bin Laden. Konon menurut Rohan Gunaratna, ditempat itulah Osama menyarankan agar membentuk organisasi JI di Asia Tenggara (Dr. Rohan Gunaratna, Inside Al Qaeda: Global Network of Terror, Hurst & Company, London, 2002).

Namun semuanya itu masih “katanya”. Osama bin Laden, yang waktu itu masih berperan sebagai proxy CIA untuk melawan Uni Soviet, membutuhkan sebuah organisasi yang dipimpin oleh alim-ulama Islam yang karismatis untuk dapat menarik sebanyak mungkin rekrut dari aktivis muslim untuk berjihad melawan kafir Rusia di Afghanistan.

            Itu pula sebabnya, dengan garansi dari dinas rahasia ISI Pakistan, Malaysia memberikan i.d.kad hijau (KTP permanen) dan kebebasan berdakwah di seluruh wilayah kerajaan. Pada 1998, Abdullah Sungkar dan Ustad Abu Bakar Ba’asyir kembali ke Indonesia atas kemauan sendiri ketika iklim politik di Indonesia berubah dengan dicabutnya undang-undang asas tunggal yang menjadi alasan mengapa mereka hijrah ke Malaysia. Yang perlu dicatat, selama 13 tahun (1985-1998) mereka tidak pernah dikejar-kejar oleh undang-undang Kamdagri Malaysia yang sangat keras itu, baik sebagai kriminal maupun karena JI dianggap sebagai organisasi terlarang. Baru setelah peristiwa 11-9, ketika Presiden Bush mencanangkan “perang membasmi terorisme di seluruh dunia”, organisasi JI yang tadinya direstui CIA dinyatakan sebagai organisasi “berbahaya”.

Kepentingan Amerika berubah. Nasib Ustad Abu Bakar Ba’asyir pasca-11-9 berubah. Jauh sebelum peristiwa 11-9, tiga think-tanks lobi Yahudi, the Council for Foreign Relation (CFR) menerbitkan dokumennya pada Mei 2001, RAND Corporation menyusul dengan judul The Role of South-East Asia in US Strategy Toward China  pada Juni 2000, dan yang ketiga, the Project for the New American Century (PNAC), yang dimotori oleh Paul Wolfowitz, memukul gongnya dengan judul Rebuilding America’s Defenses pada september 2000. Yang secara susul-menyusul menyerahkan hasil study tersebut kepada Presiden Bush. Ketiga dokumen itu secara khusus menyorot politik-strategi Amerika terhadap Asia Tenggara dan dampaknya dengan kebangkitan Cina.

CFR mengingatkan Bush bahwa Indonesia, negara Asia satu-satunya sebagai anggota OPEC, tercatat mengekspor 20% dari LNG dunia, sementara cadangannya belum sepenuhnya diketahui. Ladang-ladang minyak dan gas bumi yang baru di Malaysia, Vietnam, dan Filipina masih terus ditemukan (Peter Symonds, Why Has South East Asia Become the Second Front in Bush’s War Against Terrorism, www.wsws.org, 31 Agustus 2003). 

Bahasan itu dilanjutkan oleh RAND Corporation dengan nasihat tentang pentingnya Amerika mencegah penetrasi kekuatan ketiga, yakni Cina, kekawasan tersebut, dan untuk itu perlunya menempatkan kekuatan militer Amerika. “Prioritas (kebijakan) Amerika Serikat harus diletakkan pada penjagaan keamanan kawasan melalui pencegahan konflik (karena) dominasi oleh satu atau koalisi kekuatan luar. Pemerintah (Amerika Serikat) perlu memelihara kehadiran militer yang andal” (Peter Symonds, ibid).

RAND melanjutkan provokasinya bahwa, “Kebangkitan Cina sebagai negara besar di kawasan itu dalam waktu 10 sampai 15 tahun ke depan akan dapat mengintensifkan persaingan dan meningkatkan kemungkinan konflik bersenjata antara Amerika Serikat dan Cina di Asia Tenggara. Amerika Serikat dewasa ini merupakan kekuatan ekstra-regional yang dominan di Asia Tenggara.... Pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Pasifik, yang penting bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya akan bergantung pada bagaimana memelihara kehadiran dan pengaruhnya dikawasan itu serta akses tanpa hambatan ke jalur-jalur lautnya” (Peter Symonds, ibid). Perhatikan diktum tentang “akses tanpa hambatan ke jalur-jalur lautnya”, yang disarankan oleh RAND, perlunya menguasai choke points, yaitu selat-selat dilautan dalam Indonesia, antara lain yang terpenting Selat Malaka.

Seperti halnya dokumen CFR dan RAND, dokumen PNAC pun secara khusus menyoroti bangkitnya Cina dengan menyatakan, “Amerika Serikat harus mampu mencegah negara lain (Cina jangan sampai menantang kepemimpinan Amerika Serikat, atau bahkan bercita-cita untuk menjalankan peran regional atau global yang lebih besar)”. Dokumen PNAC itu melanjutkan, “Kini sudah tiba waktunya untuk meningkatkan kehadiran bala tentara Amerika Serikat di Asia Tenggara”, (the Guardian, London, edisi 6 September,2003).

Akhirnya, the Heritage Foundation, sebuah kelompok ultra-sayap-kanan Yahudi yang memiliki hubungan erat dengan Partai Republik, pada Oktober 2002 menyatakan dengan tegas bahwa, “Alasan melancarkan perang membasmi terorisme di Asia Tenggara pada akhirnya harus dikerjakan, dengan atau tanpa persetujuan pemerintah-pemerintah dikawasan ini” (Dana Dillon dan Paolo Pascolan, The South-East Asia and War Against Terrorism, Oktober 2000).

Pada 1999, Abdullah Sungkar berpulang. Banyak pihak menduga, Ustad Abu Bakar Ba’asyir, konon karena kedekatannya dengan Abdullah Sungkar, meneruskan kepemimpinan JI. Amerika Serikat juga menyangka demikian. (Menurut Gunaratna, kepemimpinan JI di lapangan sebenarnya berada di tangan Hambali, alias Ridwan, alias Cecep). Bersamaan dengan itu, peristiwa 11-9 terjadi, yang oleh kalangan neo-kon di Washington dimanfaatkan. Kalau “perang membasmi terorisme” dijadikan pretext untuk menguasai Timur Tengah yang disebut Amerika sebagai “the largest fuel station in the world”, maka untuk Asia Tenggara udang dibalik batunya adalah mencegah cina masuk ke Asia Tenggara, di mana juga terdapat cadangan minyak dan gas bumi yang sampai sekarang belum dapat ditaksir potensinya.

Untuk dapat masuk ke Asia Tenggara, harus ada alasan “membasmi terorisme”. JI yang dulu direstui CIA, sesudah 11-9, dijadikan “hantu” untuk menakut-nakuti, kemudian menggiring negara-negara di kawasan Asia Tenggara ke bawah komando Amerika. Khususnya kaum muslimin di Indonesia dan Ustad Abu Bakar Ba’asyir dijadikan tumbal untuk nafsu Amerika membangun hegemoninya di kawasan tersebut.

Setelah bom Bali 12-10 meledak, semuanya berubah. Seluruh kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, siap berada di bawah komando Amerika untuk “membasmi terorisme”, khususnya membasmi Jamaah Islamiyah. Tentang bom bali itu, seorang kapten tentara Australia yang kebetulan berada di situs kejadian bersaksi, tak pelak lagi: “the bomb to be a micro-nuclear device”.
Seorang ahli terorisme, Joe Vialls, memberikan komentar setelah pengadilan menerima pernyataan polisi bahwa bom tersebut terbuat dari “karbid” dengan campuran “pupuk”, menyarankan agar Amrozi seharusnya dipertimbangkan benar untuk menjadi kandidat penerima Hadiah Nobel Bidang Fisika. Meski ia dengan geram menyatakan “hanya idiot yang percaya kalau bom itu konvensional” (W. Tiwon, A Medley of Miscellanea).

Kini, oleh Dubes Amerika Serikat Boyce, Ustad Abu Bakar Ba’asyir yang tua renta dan papa itu diminta disidangkan kembali, karena dituduh menjadi otak, pemimpin, dan penyandang dana bom Bali. Untuk itu, barangkali Ustad Abu Bakar Ba’asyir perlu mengulang kembali tuntutan Ketua MPR Amien Rais agar Polri melakukan rekonstruksi untuk meyakini bahan-ledak dari jenis apa yang digunakan di Legian. Wallahualam.    

*MANTAN KEPALA BAKIN
© 2004 Retyped by Pakne WSR.        
From GATRA magazine NO.25 TAHUN X · 8 MEI 2004
Page 32-33