NEGARA KULI
Sepertiga dari sekitar 570 ribu pekerja
Indonesia di Malaysia sedang resah.
Persoalannya, mereka, para pendatang gelap yang bekerja sebagai buruh di
Negeri jiran itu, harus segera pulang ke tanah air maksimal 31Juli 2004. kalau tidak, hukuman pukulan tongkat atau
denda Rp 24 juta tengah menunggunya.
Saat ini diperkirakan lebih dari dua
juta orang Indonesia (Tenaga Kerja Indonesia – TKI) mencari sesuap nasi di luar
negeri. Tujuan utamanya: Malaysia,
Singapura, Hongkong, Taiwan, Korea, Jepang, dan Arab Saudi. Bidang kerjanya bisa dikatakan 99 persen
adalah buruh, dan pembantu rumah tangga (PRT).
Di Malaysia, TKI kebanyakan kerja di
perkebunan dan konstruksi (bangunan). Di
Singapura, Taiwan, dan Hongkong, orang Indonesia yang kebanyakan wanita, lebih
banyak yang menjadi PRT. Di Arab Saudi
mayoritas juga menjadi PRT, sebagian kecil di medis. Di Jepang dan Korea banyak bekerja di
pabrik-pabrik kecil.
Total devisa yang bisa diperoleh dari
mereka menurut Menakertrans sekitar 2,4 miliar dolar setahun. Cukup besar untuk menambah kocek
nasional. Tapi jika dilihat dari jumlah
tenaga kerjanya, tentu tidak imbang dengan orang asing yang bekerja di
Indonesia yang jumlahnya diperkirakan 30 ribu orang tapi menghasilkan devisa dua
kali lebih besar.
Kenapa?
Karena yang kita kirim adalah pekerja yang mengandalkan kekuatan
fisik. Dalam kamus besar bahasa
Indonesia, orang yang bekerja mengandalkan fisik dinamakan kuli. Tanpa mengurangi rasa hormat kita pada
keberanian para TKI merantau sehingga mampu menyumbang devisa, kita tetap
prihatin bahwa martabat bangsa kita ikut runtuh.
Jalan-jalanlah ke negara yang menjadi
tujuan TKI di atas – terutama Malaysia.
Ketika mereka tahu bahwa Anda orang Indonesia, maka Anda akan mendapat
sambutan yang nadanya merendahkan, meremehkan.
Kalaupun kita punya keterampilan tinggi, mereka pasti meragukan apa yang
kita miliki. Rupanya kita sudah
terlanjur di cap sebagai bangsa kuli.
Tapi, barangkali masih mending jika
menjadi kuli di negara lain. Lantaran
kalau tidak hati-hati, kita pun akan terperangkap menjadi kuli di negeri
sendiri. Artinya, kita akan bekerja di
Indonesia tapi juragannya adalah orang asing.
Mereka mengeduk kekayaan Indonesia untuk diambil ke negaranya. Dan kita membantu mengeduk kekayaan itu.
Liaht saja, bagaimana obral aset
perusahaan swasta yang dikuasai negara dan juga BUMN kepada perusahaan
asing. Ingat kasus Cemex yang mengambil
alih Semen Gresik, ataupun perkumpulan Guthrie Berhad dari Malaysia yang
membeli jutaan hektar kebun kelapa sawit.
Belum lagi BCA yang jatuh ke asing juga.
Indosat, Telkomsel, serta Danamon dan BII yang dikuasai Temasek
Singapura.
Masalahnya, apakah pemimpin kita sadar
bahwa kita sudah menyandang predikat sebagai bangsa kuli? Tampaknya tidak. Bahkan, para pemimpin kita pun berpikiran
kuli. Karena sebagaimana kuli, mereka
bekerja untuk kepentingan sesaat, jangka pendek, tanpa visi. Pernakah Anda mendengar para pemimpin
mengajukan visinya mengenai mau dibawa kemana negeri berpenduduk 225 juta jiwa
ini? Mereka hanya sibuk mempertahankan
kekuasaan dan memupuk harta.
Lantas kita pun menjadi teringat pidato
Bung Karno pada 17 Agustus 1963 yang intinya adalah jika Indonesia tidak
hati-hati maka negara yang “Gemah Ripah Loh Jinawi” ini akan tetap menjadi
negara kuli. “Een natie van koelies, en een kolie onder de naties” (negara kuli
dan menjadi kuli bangsa lain).
Jika kondisi kita tetap seperti
sekarang, dengan para pemimpin yang tidak memikirkan rakyat, dengan pemimpin
yang tidak mempunyai visi, dengan pemimpin yang hanya bisa menyalahkan orang
lain tanpa bisa bercermin diri, maka kekhawatiran Bung Karno itupun akan
terjadi. Kita total menjadi negara kuli.
*Artikel ini ditulis saat ratusan ribu TKI terusir dari Malaysia karena
tidak memiliki surat legal. Pada 2004
sudah jutaan TKI ilegal di Malaysia dan sebagian sudah dipulangkan ke Indonesia
bulan Oktober-Nopember 2004 menjelang lebaran.
Di sadur dari:
Kitab Negara Kuli (Apa lagi yang kita punya?)
Karya Anif Punto Utomo