SURYA SARI ENTERPRISE: NEGARA KULI

Selasa, 30 April 2019

NEGARA KULI


NEGARA KULI
       Sepertiga dari sekitar 570 ribu pekerja Indonesia di Malaysia sedang resah.  Persoalannya, mereka, para pendatang gelap yang bekerja sebagai buruh di Negeri jiran itu, harus segera pulang ke tanah air maksimal 31Juli 2004.  kalau tidak, hukuman pukulan tongkat atau denda Rp 24 juta tengah menunggunya.
       Saat ini diperkirakan lebih dari dua juta orang Indonesia (Tenaga Kerja Indonesia – TKI) mencari sesuap nasi di luar negeri.  Tujuan utamanya: Malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan, Korea, Jepang, dan Arab Saudi.  Bidang kerjanya bisa dikatakan 99 persen adalah buruh, dan pembantu rumah tangga (PRT).
       Di Malaysia, TKI kebanyakan kerja di perkebunan dan konstruksi (bangunan).  Di Singapura, Taiwan, dan Hongkong, orang Indonesia yang kebanyakan wanita, lebih banyak yang menjadi PRT.  Di Arab Saudi mayoritas juga menjadi PRT, sebagian kecil di medis.  Di Jepang dan Korea banyak bekerja di pabrik-pabrik kecil.
       Total devisa yang bisa diperoleh dari mereka menurut Menakertrans sekitar 2,4 miliar dolar setahun.  Cukup besar untuk menambah kocek nasional.  Tapi jika dilihat dari jumlah tenaga kerjanya, tentu tidak imbang dengan orang asing yang bekerja di Indonesia yang jumlahnya diperkirakan 30 ribu orang tapi menghasilkan devisa dua kali lebih besar.
       Kenapa?  Karena yang kita kirim adalah pekerja yang mengandalkan kekuatan fisik.  Dalam kamus besar bahasa Indonesia, orang yang bekerja mengandalkan fisik dinamakan kuli.  Tanpa mengurangi rasa hormat kita pada keberanian para TKI merantau sehingga mampu menyumbang devisa, kita tetap prihatin bahwa martabat bangsa kita ikut runtuh.
       Jalan-jalanlah ke negara yang menjadi tujuan TKI di atas – terutama Malaysia.  Ketika mereka tahu bahwa Anda orang Indonesia, maka Anda akan mendapat sambutan yang nadanya merendahkan, meremehkan.  Kalaupun kita punya keterampilan tinggi, mereka pasti meragukan apa yang kita miliki.  Rupanya kita sudah terlanjur di cap sebagai bangsa kuli.
       Tapi, barangkali masih mending jika menjadi kuli di negara lain.  Lantaran kalau tidak hati-hati, kita pun akan terperangkap menjadi kuli di negeri sendiri.  Artinya, kita akan bekerja di Indonesia tapi juragannya adalah orang asing.  Mereka mengeduk kekayaan Indonesia untuk diambil ke negaranya.  Dan kita membantu mengeduk kekayaan itu.
       Liaht saja, bagaimana obral aset perusahaan swasta yang dikuasai negara dan juga BUMN kepada perusahaan asing.  Ingat kasus Cemex yang mengambil alih Semen Gresik, ataupun perkumpulan Guthrie Berhad dari Malaysia yang membeli jutaan hektar kebun kelapa sawit.  Belum lagi BCA yang jatuh ke asing juga.  Indosat, Telkomsel, serta Danamon dan BII yang dikuasai Temasek Singapura.
       Masalahnya, apakah pemimpin kita sadar bahwa kita sudah menyandang predikat sebagai bangsa kuli?  Tampaknya tidak.  Bahkan, para pemimpin kita pun berpikiran kuli.  Karena sebagaimana kuli, mereka bekerja untuk kepentingan sesaat, jangka pendek, tanpa visi.  Pernakah Anda mendengar para pemimpin mengajukan visinya mengenai mau dibawa kemana negeri berpenduduk 225 juta jiwa ini?  Mereka hanya sibuk mempertahankan kekuasaan dan memupuk harta.
       Lantas kita pun menjadi teringat pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1963 yang intinya adalah jika Indonesia tidak hati-hati maka negara yang “Gemah Ripah Loh Jinawi” ini akan tetap menjadi negara kuli.  Een natie van koelies, en een kolie onder de naties” (negara kuli dan menjadi kuli bangsa lain).
       Jika kondisi kita tetap seperti sekarang, dengan para pemimpin yang tidak memikirkan rakyat, dengan pemimpin yang tidak mempunyai visi, dengan pemimpin yang hanya bisa menyalahkan orang lain tanpa bisa bercermin diri, maka kekhawatiran Bung Karno itupun akan terjadi.  Kita total menjadi negara kuli.
       *Artikel ini ditulis saat ratusan ribu TKI terusir dari Malaysia karena tidak memiliki surat legal.  Pada 2004 sudah jutaan TKI ilegal di Malaysia dan sebagian sudah dipulangkan ke Indonesia bulan Oktober-Nopember 2004 menjelang lebaran.

Di sadur dari:
 Kitab Negara Kuli (Apa lagi yang kita punya?)
Karya Anif Punto Utomo