Laut: ancaman dan peluang
Oleh: Budiono Kartohadiprodjo*
Keberadaan geografis Indonesia memang
strategis. Terletak di antara dua benua
dan dua samudra, dengan tiga pintu masuk – Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat
Lombok – telah menempatkan negeri ini berada pada posisi penting dalam
perdagangan dan keamanan global. Posisi
ini dapat membawa bangsa ini menjadi paling berpengaruh pada politik dan
ekonomi dunia, namun sekaligus pula dapat kehilangan kedaulatannya tanpa sadar.
Betapa tidak, Selat
Malaka, misalnya (panjang 800 km., lebar 50-320 km. dengan bagian tersempit 2,5 km., dan laut
terdangkal 23 meter), merupakan selat terpadat di dunia. Per hari selat ini dilalui 600 kapal, lebih
separonya berbobot 1.000 DWT ke atas.
Mengangkut migas 11 juta barel per hari, atau menempatkannya nomor dua
terpadat di dunia setelah Selat Hormuz yang 15,3 juta barel per hari. Adapun Selat Sunda merupakan jalur alternatif
dari Selat Malaka bila bermasalah. Dan,
Selat Lombok merupakan alur utama Australia untuk membawa biji besi ke Cina.
Sementara itu, kalau dilihat Asia di
satu sisi dan Australia pada sisi lain, dan bila di antaranya dipandang sebagai
“selat”, maka Indonesia dengan Wawasan Nusantara-nya akan terlihat sebagai
“penyumbat”. “Penyumbatan” areal seluas
1.919.440 kilometer persegi ini berubah menjadi ancaman bila: (1) Kuat secara ekonomi dan politik, (2) stabil, (3) kuat angkatan bersenjatanya, dan (4) pandai rakyatnya. Efek lebih
jauh adalah jalur perdagangan dan pertahanan di kawasan Asia Tenggara jadi
sangat bergantung pada pendirian dan kondisi bangsa Indonesia. Kondisi
ini, oleh pengguna alur laut, akan diupayakan sejauh mungkin tidak terwujud.
Namun, menggembosi keempat faktor
tersebut, demi perdamaian dan persahabatan, tidak bisa dilakukan
terang-terangan, melainkan secara halus dan sewajar mungkin. Maka, digunakanlah cara perang informasi (information warfare), perang persepsi,
perang tanpa penghancuran fisik. Perang
rekayasa emosi dan akal dengan sasaran para pengambil keputusan dan pembentuk
opini publik. Dilakukan untuk
kepentingan politik, ekonomi, diplomasi, dan militer. Medan laganya pun bukan di lapangan,
melainkan di meja perundingan, media elektronik maupun cetak, internet, seminar
dan pertemuan ilmiah, buku-buku pokok dan bacaan, pusat pendidikan dan pusat
kegiatan publik. Strategi ini bisa
dianalogikan dengan pandangan ahli perang Cina, Sun Tzu: “Mengambil ikan tanpa menggoyangkan airnya.”
Berbagai contoh sudah terjadi. Misal, hilangnya pulau di dekat Singapura
yang menciutkan wilayah kita melalui bisnis pasir laut. Lepasnya Timor Timur melalui referendum,
hasil MOU di Aceh, dan penggantian nama Irian Jaya dengan Papua, serta
pembentukan citra Indonesia sebagai sarang teroris – padahal, pelaku teror
adalah alumni akademi militer bentukan negara asing di Afghanistan untuk
melawan Rusia pada saat itu – juga bagian dari perang informasi.
Pemojokan TNI melalui isu HAM, okupasi
Pulau Mangudu oleh warga Australia, dan banyak peristiwa lain, yang semua ini
merupakan bagian dari perang informasi dalam bentuk historical warfare, legal
warfare, cultural warfare, economic warfare, yang pada akhir-akhir
ini menunjukkan peningkatan.
Sementara itu, Indonesia sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia memfungsikan laut sebagai pemersatu bangsa, media
perhubungan, media sumber daya, media pertahanan dan keamanan, serta sebagai
media diplomasi. Yang pada kenyataannya,
meskipun telah disepakati terdapat tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI),
namun dengan banyaknya pintu masuk ke wilayah Nusantara, telah menjadikannya
sebagai salah satu faktor penyebab gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di laut. Terlebih lagi, dengan telah ditemukan mineral
yang mengandung unsur radioaktif, seperti zircon,
rutil, dan thorium pada contoh-contoh pasir laut, yang diperkirakan akan
meningkatkan gangguan pelanggaran tersebut dan perlu diantisipasi, utamanya
dari serangan dalam bentuk perang informasi.
Menghadapi hal ini, karena perang
informasi andalannya adalah kualitas manusia, maka untuk kesempurnaan
perlindungan kekayaan dan kedaulatan bangsa ini perlu pergeseran pembangunan
basis pembangunan nasional dari sumber daya alami ke sumber daya manusia. Karena itu, pembangunan bidang pendidikan dan
bidang hukum harus ditempatkan di atas sektor lain. Peningkatan kualitas guru lebih diutamakan daripada peningkatan sarana pendidikan. Kurikulum diarahkan pada pembentukan akhlak, kecerdasan,
kecintaan dan kebanggaan kepada bangsa.
Tunas bangsa ini perlu dididik agar senang dan ulet menghadapi masalah,
dan bukan mencari jalan pintas dengan mengorbankan orang lain.
Melihat pada fungsinya, sudah saatnya
laut jadi perhatian sungguh-sungguh.
Selain posisinya yang strategis bagi kepentingan nasional dan
internasional, laut kita juga banyak mengandung sumber daya alam yang belum
tergali. Kecanggihan teknologi memang
menjadi tumpuan agar kita tidak lagi “dikadali”
bangsa lain, dan tidak kehilangan kedaulatan tanpa disadari. Maka, melalui pembangunan sumber daya manusia
seutuhnya, kejayaan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dalam dunia maritim tempo
dulu tak mustahil kembali terwujud.
Bukankah sejarah kehidupan selalu berputar?
*Ketua Bidang Hankam Dewan Harian45
±±²±±
Tidak ada komentar:
Posting Komentar