SURYA SARI ENTERPRISE: Laut: ancaman dan peluang

Kamis, 18 April 2019

Laut: ancaman dan peluang


Laut: ancaman dan peluang
Oleh: Budiono Kartohadiprodjo*

       Keberadaan geografis Indonesia memang strategis.  Terletak di antara dua benua dan dua samudra, dengan tiga pintu masuk – Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok – telah menempatkan negeri ini berada pada posisi penting dalam perdagangan dan keamanan global.  Posisi ini dapat membawa bangsa ini menjadi paling berpengaruh pada politik dan ekonomi dunia, namun sekaligus pula dapat kehilangan kedaulatannya tanpa sadar.


Betapa tidak, Selat Malaka, misalnya (panjang 800 km., lebar 50-320 km.  dengan bagian tersempit 2,5 km., dan laut terdangkal 23 meter), merupakan selat terpadat di dunia.  Per hari selat ini dilalui 600 kapal, lebih separonya berbobot 1.000 DWT ke atas.  Mengangkut migas 11 juta barel per hari, atau menempatkannya nomor dua terpadat di dunia setelah Selat Hormuz yang 15,3 juta barel per hari.  Adapun Selat Sunda merupakan jalur alternatif dari Selat Malaka bila bermasalah.  Dan, Selat Lombok merupakan alur utama Australia untuk membawa biji besi ke Cina.

       Sementara itu, kalau dilihat Asia di satu sisi dan Australia pada sisi lain, dan bila di antaranya dipandang sebagai “selat”, maka Indonesia dengan Wawasan Nusantara-nya akan terlihat sebagai “penyumbat”.  “Penyumbatan” areal seluas 1.919.440 kilometer persegi ini berubah menjadi ancaman bila: (1) Kuat secara ekonomi dan politik, (2) stabil, (3) kuat angkatan bersenjatanya, dan (4) pandai rakyatnya.  Efek lebih jauh adalah jalur perdagangan dan pertahanan di kawasan Asia Tenggara jadi sangat bergantung pada pendirian dan kondisi bangsa Indonesia.  Kondisi ini, oleh pengguna alur laut, akan diupayakan sejauh mungkin tidak terwujud.
       Namun, menggembosi keempat faktor tersebut, demi perdamaian dan persahabatan, tidak bisa dilakukan terang-terangan, melainkan secara halus dan sewajar mungkin.  Maka, digunakanlah cara perang informasi (information warfare), perang persepsi, perang tanpa penghancuran fisik.  Perang rekayasa emosi dan akal dengan sasaran para pengambil keputusan dan pembentuk opini publik.  Dilakukan untuk kepentingan politik, ekonomi, diplomasi, dan militer.  Medan laganya pun bukan di lapangan, melainkan di meja perundingan, media elektronik maupun cetak, internet, seminar dan pertemuan ilmiah, buku-buku pokok dan bacaan, pusat pendidikan dan pusat kegiatan publik.  Strategi ini bisa dianalogikan dengan pandangan ahli perang Cina, Sun Tzu: “Mengambil ikan tanpa menggoyangkan airnya.”
       Berbagai contoh sudah terjadi.  Misal, hilangnya pulau di dekat Singapura yang menciutkan wilayah kita melalui bisnis pasir laut.  Lepasnya Timor Timur melalui referendum, hasil MOU di Aceh, dan penggantian nama Irian Jaya dengan Papua, serta pembentukan citra Indonesia sebagai sarang teroris – padahal, pelaku teror adalah alumni akademi militer bentukan negara asing di Afghanistan untuk melawan Rusia pada saat itu – juga bagian dari perang informasi.
       Pemojokan TNI melalui isu HAM, okupasi Pulau Mangudu oleh warga Australia, dan banyak peristiwa lain, yang semua ini merupakan bagian dari perang informasi dalam bentuk historical warfare, legal warfare, cultural warfare, economic warfare, yang pada akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan.
       Sementara itu, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memfungsikan laut sebagai pemersatu bangsa, media perhubungan, media sumber daya, media pertahanan dan keamanan, serta sebagai media diplomasi.  Yang pada kenyataannya, meskipun telah disepakati terdapat tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), namun dengan banyaknya pintu masuk ke wilayah Nusantara, telah menjadikannya sebagai salah satu faktor penyebab gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di laut.  Terlebih lagi, dengan telah ditemukan mineral yang mengandung unsur radioaktif, seperti zircon, rutil, dan thorium pada contoh-contoh pasir laut, yang diperkirakan akan meningkatkan gangguan pelanggaran tersebut dan perlu diantisipasi, utamanya dari serangan dalam bentuk perang informasi.
       Menghadapi hal ini, karena perang informasi andalannya adalah kualitas manusia, maka untuk kesempurnaan perlindungan kekayaan dan kedaulatan bangsa ini perlu pergeseran pembangunan basis pembangunan nasional dari sumber daya alami ke sumber daya manusia.  Karena itu, pembangunan bidang pendidikan dan bidang hukum harus ditempatkan di atas sektor lain.  Peningkatan kualitas guru lebih diutamakan daripada peningkatan sarana pendidikan.  Kurikulum diarahkan pada pembentukan akhlak, kecerdasan, kecintaan dan kebanggaan kepada bangsa.  Tunas bangsa ini perlu dididik agar senang dan ulet menghadapi masalah, dan bukan mencari jalan pintas dengan mengorbankan orang lain.
       Melihat pada fungsinya, sudah saatnya laut jadi perhatian sungguh-sungguh.  Selain posisinya yang strategis bagi kepentingan nasional dan internasional, laut kita juga banyak mengandung sumber daya alam yang belum tergali.  Kecanggihan teknologi memang menjadi tumpuan agar kita tidak lagi “dikadali” bangsa lain, dan tidak kehilangan kedaulatan tanpa disadari.  Maka, melalui pembangunan sumber daya manusia seutuhnya, kejayaan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dalam dunia maritim tempo dulu tak mustahil kembali terwujud.  Bukankah sejarah kehidupan selalu berputar?
*Ketua Bidang Hankam Dewan Harian45
±±²±±

Tidak ada komentar:

Posting Komentar