SURYA SARI ENTERPRISE: KASIR

Kamis, 04 April 2019

KASIR


KASIR

            Menyandang jabatan kasir itu serba repot.  Bergelimang duit, tapi bukan milik sendiri.  Selain repot, mengandung unsur rawan.  Kerawanan itu bisa muncul dari luar – ditodong, dirampok, dan diakali orang lain – ataupun dari dalam diri sendiri.  Misalnya, tahu-tahu, mak krentek ingin menguasai duit yang ada di bawah kekuasaannya.

            Padahal, awalnya, hatinya tak tergoyahkan.  Tapi, di lain waktu, karena anak tetangga sering membawa mainan dari luar negeri, sementara berharap cipratan rezeki tak kunjung terwujud, matanya pun jadi silau.  Kesuciannya luntur melihat duit bergambar “Sang Proklamator”.  Atau, bisa pula karena tergoda bau parfum dan gincu wanita.

            Banyak contoh.  Kasir anu, misalnya, tahu-tahu membawa lari jutaan rupiah.  Begitu uangnya amblas, dia menyerahkan diri.  Atau, kasirX menggondol ratusan juta rupiah, bersama cemceman-nya.  Dan, lebih hebat lagi, ada yang menilap milyaran rupiah, karena merasa sudah direstui bos besar.  Begitulah kalau negara serasa dalam genggamannya.

            “Kasir” rumah tangga lebih ruwet lagi.  Salah urus malah membuat suami-istri saling curiga, dan berbuntut bubrah-nya rumah tangga.  Kok, tahu-tahu pedaringan kosong?  Kok, duit digelontorkan ke familimu melulu?  Kok, kosmetikmu jutaan rupiah, dan sebagainya.   Maka, banyak orang tua mewanti-wanti, “Jangan memilih istri boros.”

            Sebenarnya, banyak jalan menuju kaya – tanpa harus menjadi benalu pemerintah.  “Sekarang, mana ada pejabat pemerintah yang bersih.  Semua korup.  Gajinya kecil, tapi sabetannya luar biasa, “ kata seorang kata seorang yang mengaku dekat (tapi di luar garis) dan tahu jeroannya para pejabat di zaman Orde Baru serta orde Reformasi.

            Dia prihatin, tapi tak bisa apa-apa.  “Biarkan saja, memang sudah harus begitu, satu per satu pejabat itu akan menanggung perbuatannya.  Awal Januari 1997, saya sudah mengingatkan, tapi tidak ada yang menggubris.  Itulah manusia.  Dapat kepercayaan bukannya memperjuangkan nasib rakyat, malah menumpuk kekayaan,” ujarnya, seperti acuh tak acuh.

            Sebenarnya, untuk kaya itu ada kiatnya.  Misalnya, pelajari cara-cara orang memperoleh uang.  Lalu praktekkan.  Kalau gagal?  Tak apa.  Hidup itu, jika tak gagal, ya berhasil.  Namun, harap dicatat, keberhasilan bukanlah sesuatu yang fatal.  Maka, ubah pandangan hidup Anda:  “Hidup adalah petualangan yang serba menantang dan menyenangkan.”  Dalam arti positif, tentunya.

            Hidup adalah petualangan!  Kata-kata itu sering beralih makna.  Seorang calon kepala desa, misalnya, harus menjejali warganya dengan duit agar terpilih.  Begitulah “tradisinya”.  Dari mana duit diperoleh, itu urusan nanti.  Bisa cari sponsor atau jual harta.  Dalam kalkulasinya, toh apa yang dikeluarkan bakal kembali modal setelah terpilih.  Picik, memang.

            Pencalonan jabatan bupati, gubernur, menteri, dan presiden pun berbau begituan.  Galang dana sana-sini.  Antara lain, dari dana nonbujeter Bulog, Pertamina, dan badan usaha milik negara yang lain.  Tempo hari, Presiden Amerika Serikat Bill Clinton juga dapat bantuan dana dari pengusaha James Riady untuk berkampanye.  Tapi, karena bantuan itu melebihi aturan, James dipersalahkan, dan diganjar hukuman kerja sosial.

            Itu pula, kabarnya, yang terjadi pada Habibie tempo hari.  Untuk membuat dirinya berada di kursi kepresidenan, dibutuhkan tim sukses.  Nah, tim sukses ini membutuhkan “sang kasir” yang tugasnya menyiapkan duit, dan dibagi-bagikan bagi dana kampanye.  Jumlahnya milyaran rupiah.  Dan, agar masalahnya tak merebak – atau tiji tibeh, terbongkar satu terbongkar semua – sejumlah partai lain pun diciprati.

            Tugas sang kasir cukup rawan dan vital.  Dia harus piawai agar tak “menjerumuskan” si bos.  Namun, barang busuk akhirnya tercium pula.  Dana yang dijadikan bancakan itu tersingkap asal-usulnya.  Orang-orang yang bersinggungan pun jadi gerah.  Masing-masing mulai ceblang-ceblung tak terkontrol.  Hari ini bilang A, esok B, dan lusa C.  Satu kebohongan diikuti oleh kebohongan berikutnya untuk memperdaya publik.
            Apa boleh buat, masing-masing orang mulai menyelamatkan muka sendiri.  Itulah jika belang sudah terkuak, segala jurus harus dikeluarkan.   “Itu tanggung jawab menteri yang bersangkutan.”  “Itu tanggung jawab Saudara Presiden.”  Tak ada yang mengatakan: “Itu tanggung jawab saya.”  Mereka malu menelan kata-kata sendiri.

            Padahal, menurut Winston Churcill, negarawan pujaan rakyat Inggris, “Harga dari keagungan itu adalah rasa tanggung jawab.”  Churcill adalah sosok yang tak malu mengakui kegagalannya.  Di sekolah, ia terpaksa mengulang selama tiga tahun ujian bahasa Inggrisnya lantaran tak juga lulus.  Kegagalan itu membuatnya belajar terus, terus, dan terus.  Dan, akhirnya, ia dikenal sebagai orator yang handal.

            Tanggung jawab memang sering menakutkan banyak orang.  Lalu, banyak orang memilih cuci tangan.  Menurut saya, harga keagungan itu bukan ditentukan oleh jas atau sarung.  Bukan oleh Volvo atau bus kota.  Melainkan oleh sebuah kata: kejujuran!  Dan, itu sudah jadi barang langka.

Tulisan Widi Yarmanto dalam Esai Majalah Gatra 1 Desember 2001.