KASIR
Menyandang jabatan kasir itu serba
repot. Bergelimang duit, tapi bukan
milik sendiri. Selain repot, mengandung
unsur rawan. Kerawanan itu bisa muncul
dari luar – ditodong, dirampok, dan diakali orang lain – ataupun dari dalam
diri sendiri. Misalnya, tahu-tahu, mak krentek ingin menguasai duit yang
ada di bawah kekuasaannya.
Padahal, awalnya, hatinya tak
tergoyahkan. Tapi, di lain waktu, karena
anak tetangga sering membawa mainan dari luar negeri, sementara berharap
cipratan rezeki tak kunjung terwujud, matanya pun jadi silau. Kesuciannya luntur melihat duit bergambar
“Sang Proklamator”. Atau, bisa pula
karena tergoda bau parfum dan gincu wanita.
Banyak contoh. Kasir anu, misalnya, tahu-tahu membawa lari
jutaan rupiah. Begitu uangnya amblas,
dia menyerahkan diri. Atau, kasirX
menggondol ratusan juta rupiah, bersama cemceman-nya. Dan, lebih hebat lagi, ada yang menilap
milyaran rupiah, karena merasa sudah direstui bos besar. Begitulah kalau negara serasa dalam
genggamannya.
“Kasir” rumah tangga lebih ruwet
lagi. Salah urus malah membuat
suami-istri saling curiga, dan berbuntut bubrah-nya
rumah tangga. Kok, tahu-tahu pedaringan kosong? Kok, duit digelontorkan ke familimu
melulu? Kok, kosmetikmu jutaan rupiah,
dan sebagainya. Maka, banyak orang tua
mewanti-wanti, “Jangan memilih istri boros.”
Sebenarnya, banyak jalan menuju kaya
– tanpa harus menjadi benalu pemerintah.
“Sekarang, mana ada pejabat pemerintah yang bersih. Semua korup.
Gajinya kecil, tapi sabetannya luar biasa, “ kata seorang kata seorang
yang mengaku dekat (tapi di luar garis) dan tahu jeroannya para pejabat di
zaman Orde Baru serta orde Reformasi.
Dia prihatin, tapi tak bisa
apa-apa. “Biarkan saja, memang sudah
harus begitu, satu per satu pejabat itu akan menanggung perbuatannya. Awal Januari 1997, saya sudah mengingatkan,
tapi tidak ada yang menggubris. Itulah
manusia. Dapat kepercayaan bukannya memperjuangkan
nasib rakyat, malah menumpuk kekayaan,” ujarnya, seperti acuh tak acuh.
Sebenarnya, untuk kaya itu ada kiatnya. Misalnya, pelajari cara-cara orang memperoleh
uang. Lalu praktekkan. Kalau gagal?
Tak apa. Hidup itu, jika tak
gagal, ya berhasil. Namun, harap
dicatat, keberhasilan bukanlah sesuatu yang fatal. Maka, ubah pandangan hidup Anda: “Hidup adalah petualangan yang serba
menantang dan menyenangkan.” Dalam arti
positif, tentunya.
Hidup adalah petualangan! Kata-kata itu sering beralih makna. Seorang calon kepala desa, misalnya, harus
menjejali warganya dengan duit agar terpilih.
Begitulah “tradisinya”. Dari mana
duit diperoleh, itu urusan nanti. Bisa
cari sponsor atau jual harta. Dalam
kalkulasinya, toh apa yang dikeluarkan bakal kembali modal setelah
terpilih. Picik, memang.
Pencalonan jabatan bupati, gubernur,
menteri, dan presiden pun berbau begituan.
Galang dana sana-sini. Antara
lain, dari dana nonbujeter Bulog, Pertamina, dan badan usaha milik negara yang
lain. Tempo hari, Presiden Amerika
Serikat Bill Clinton juga dapat bantuan dana dari pengusaha James Riady untuk
berkampanye. Tapi, karena bantuan itu
melebihi aturan, James dipersalahkan, dan diganjar hukuman kerja sosial.
Itu pula, kabarnya, yang terjadi
pada Habibie tempo hari. Untuk membuat
dirinya berada di kursi kepresidenan, dibutuhkan tim sukses. Nah, tim sukses ini membutuhkan “sang kasir”
yang tugasnya menyiapkan duit, dan dibagi-bagikan bagi dana kampanye. Jumlahnya milyaran rupiah. Dan, agar masalahnya tak merebak – atau tiji tibeh, terbongkar satu terbongkar
semua – sejumlah partai lain pun diciprati.
Tugas sang kasir cukup rawan dan
vital. Dia harus piawai agar tak
“menjerumuskan” si bos. Namun, barang
busuk akhirnya tercium pula. Dana yang
dijadikan bancakan itu tersingkap asal-usulnya.
Orang-orang yang bersinggungan pun jadi gerah. Masing-masing mulai ceblang-ceblung tak terkontrol.
Hari ini bilang A, esok B, dan lusa C.
Satu kebohongan diikuti oleh kebohongan berikutnya untuk memperdaya
publik.
Apa boleh buat, masing-masing orang
mulai menyelamatkan muka sendiri. Itulah
jika belang sudah terkuak, segala jurus harus dikeluarkan. “Itu tanggung jawab menteri yang
bersangkutan.” “Itu tanggung jawab
Saudara Presiden.” Tak ada yang
mengatakan: “Itu tanggung jawab saya.”
Mereka malu menelan kata-kata sendiri.
Padahal, menurut Winston Churcill,
negarawan pujaan rakyat Inggris, “Harga dari keagungan itu adalah rasa tanggung
jawab.” Churcill adalah sosok yang tak
malu mengakui kegagalannya. Di sekolah,
ia terpaksa mengulang selama tiga tahun ujian bahasa Inggrisnya lantaran tak
juga lulus. Kegagalan itu membuatnya
belajar terus, terus, dan terus. Dan,
akhirnya, ia dikenal sebagai orator yang handal.
Tanggung jawab memang sering
menakutkan banyak orang. Lalu, banyak
orang memilih cuci tangan. Menurut saya,
harga keagungan itu bukan ditentukan oleh jas atau sarung. Bukan oleh Volvo atau bus kota .
Melainkan oleh sebuah kata: kejujuran!
Dan, itu sudah jadi barang langka.
Tulisan Widi Yarmanto
dalam Esai Majalah Gatra 1 Desember 2001.