SURYA SARI ENTERPRISE: 10 Cara menjadi kaya Ala Tionghoa

Kamis, 25 April 2019

10 Cara menjadi kaya Ala Tionghoa


10 Cara menjadi kaya Ala Tionghoa
       Karena menjadi kaya paling penting bagi orang Tionghoa, maka bila mereka berdoa memohon sesuatu, urutan pertamanya adalah rezeki.  Berbagai cara pun dilakukan untuk mencapainya.  Apakah cara-cara itu?

       Di sebuah kampung di pinggiran utara kota Magelang, tinggal satu keluarga Tionghoa.  Kehidupan mereka sangat bersahaja, bila tidak boleh dibilang miskin.  Melihat rumah dan pekerjaan sepasang suami-istri penghuninya, kesan kedua mungkin lebih tepat.  Rumah mereka terbuat dari gedek – anyaman bambu – yang sudah berlubang di sana-sini.  Kambing pun bisa masuk, demikian orang-orang sekitar menggambarkan keadaan rumah tersebut.

       Sedang pekerjaan mereka, hanya mengumpulkan kaleng bekas yang kemudian dibuat sebagai bahan mainan anak-anak.  Mau tahu apa yang mereka makan sehari-hari?  Kerak nasi!  Kerak, yang oleh orang jawa disebut intip ini, mereka beli sekedarnya dari penduduk sekitar.  Setelah dicuci dan dijemur kering hingga menyerupai beras kembali, kerak ini kemudian ditanak dan dimakan.

       Namun, ada satu hal yang mengherankan warga sekitar mengenai kehidupan keluarga Tionghoa tersebut.  Meski hidup sangat sederhana, 3 anak mereka tetap bisa sekolah.  Bahkan yang terbesar sudah di SMA.  Saat keheranan warga masih terhenti di dalam hati, mereka malah mendapat kejutan yang lebih besar.

       Tiba-tiba saja, rumah keluarga Tionghoa yang compang-camping tersebut, dirobohkan.  Bukan digusur, tapi dibangun menjadi rumah tingkat yang cukup mewah.  Dan salah satu ruang bawahnya dijadikan toko kelontong yang sangat lengkap, bak sebuah minimarket.  Sebuah mobil keluaran terbaru pun menghiasi rumah megah tersebut.  Warga sekitar pun bertanya, bagaimana keluarga Tionghoa tersebut bisa berubah drastis?

       Bukan tuyul atau pesugihan pesugihan yang lain ternyata.  Selidik punya selidik, perubahan yang terjadi pada keluarga Tionghoa itu karena kekayaan yang mereka kumpulkan sedikit demi sedikit.  Meski penghasilan tidak seberapa, mereka panda berhemat dan menyisihkan hasil kerja kerasnya untuk ditabung.

       Kejadian di tahun 1970-an tersebut sebenarnya bukan hal yang terlalu mengherankan.  Hal seperti ini kerap terjadi pada para perantau-perantau Tionghoa di Indonesia.  Prinsip dan cara hidup yang mereka terapkan memungkinkan untuk itu.  Sejak masih anak-anak mereka dididik untuk mengejar kekayaan dan kemakmuran material meski tidak sepenuhnya meninggalkan pemahaman kekayaan spiritual dan budi pekerti.

       Dalam buku Resep Kaya Ala Tionghoa – Kiat Sukses Secara Finansial  disebutkan, bagi mereka, memiliki uang itu penting, meski tidak harus mengabaikan artikulasi spiritual dan sosial.  Hampir segala sesuatu diukur berdasarkan nilai uang.  Bila orang Tionghoa berdoa meminta sesuatu, maka urutan pertamanya adalah meminta rezeki, baru kemudian kesehatan dan lain-lain.

       Untuk menjadi kaya, menurut buku tersebut, orang Tionghoa mempunyai 10 cara mencapainya:  bekerja keras, berhemat, menahan diri, memilih berdagang, berhati-hati, menabung, menghindari berhutang, bercita-cita, ingat anak cucu, dan never say no, adalah 10 ways of life  tersebut!

Bekerja Keras
          Prinsip bekerja keras sebenarnya tidak hanya dimiliki oleh orang-orang Tionghoa saja.  Kelompok manusia lain pun menerapkan prinsip ini.  Namun, orang Tionghoa memiliki ciri-ciri atau tekanan tersendiri dalam menerapkan prinsip ini.  Ciri-ciri tersebut adalah bekerja lebih lama, bekerja lebih maksimal, bekerja untuk esok, bekerja tanpa henti, dan bekerja apa saja.

       Bekerja lebih lama artinya dalam hitungan satuan waktu, mereka bekerja lebih lama daripada orang lain.  Misalnya toko orang Tionghoa buka lebih lama daripada toko sebelah yang bukan milik orang Tionghoa.  Atau toko orang Tionghoa tetap buka pada hari libur.  Sedang bekerja tanpa henti dan bekerja lebih maksimal dapat diartikan bagaimana seorang Tionghoa yang selesai melakukan pekerjaan, melanjutkannya dengan pekerjaan lain, bahkan dengan mengurangi waktu istirahat atau rekreasinya.

       Bekerja lebih baik bisa bermakna lebih efisien, lebih rapi, dan lebih besar margin labanya.  Bekerja untuk esok mempunyai arti melakukan pekerjaan esok hari pada hari ini.  Orang Tionghoa suka bekerja guna mempersiapkan kebutuhan esok sekaligus pada hari ini, sehingga tidak berhenti bila belum mendapatkan hasil lebih untuk jatah besok.  Sedang bekerja apa saja berarti melakukan apa pun pekerjaan termasuk pekerjaan-pekerjaan yang ditolak oleh orang lain, seperti mengelola pupuk kandang atau mengumpulkan sisa-sisa makanan untuk pakan ternak.

Berhemat
       Cara yang kedua adalah berhemat.  Prinsip ini mengajarkan agar senantiasa berhitung atau mengendalikan diri dalam pengeluaran.  Apa yang dipunyai sekarang adalah hasil berhemat kemarin.  Logikanya, tak ada gunanya mencari lebih bila kemudian juga berbelanja lebih.  Selain bisa menjadikan kaya, cara ini juga bisa untuk memuliakan generasi berikutnya.  Juga supaya tidak menyusahkan orang lain, karena apa yang kita butuhkan selalu tersedia dari hasil penghematan tersebut.  Berhemat juga mempunyai makna memupuk modal demi membesarkan usaha.

Menahan diri
       Way of life  ketiga adalah menahan diri.  Menahan diri untuk tidak hidup konsumtif, tidak memanjakan tubuhnya.  Dalam dunia modern yang cenderung konsumtif, orang Tionghoa tidak akan terbebani rasa gengsi bila tidak bisa tampil modis misalnya.  Bekerja dengan kaos singlet, celana gombrang, atau daster bukan menjadi masalah bagi mereka.  Dampaknya, mereka bisa menahan diri terhadap keinginan membeli barang baru, sampai uang terkumpul hingga dapat membeli secara tunai dan dapat harga termurah.

Memilih berdagang
       Kebanyakan orang Tionghoa mempunyai semboyan lebih baik menjadi tauke (bos) kecil daripada menjadi kuli di perusahaan besar.  Inilah yang mendasari mereka untuk memilih berdagang sebagai way of life-nya.  Berdagang memang berisiko daripada makan gaji, tapi kemungkinan untuk kaya pun jauh lebih besar.  Di samping itu juga bisa mendorong seseorang untuk mandiri karena dituntut  untuk bertanggung jawab atas setiap keputusan yang diambil.  Dengan alasan-alasan itu, tak heran bila usaha-usaha yang dirintis orang Tionghoa banyak menemui keberhasilan.  Meskipun sebenarnya orang-orang Tionghoa generasi lama memilih berdagang juga karena have nothing to loose, sebab hanya mengandalkan modal dengkul.  Selain memilih berdagang sebagai alternatif bila tidak memiliki keahlian.

Berhati-hati
       Berhati-hati juga menjadi way of life  orang-orang Tionghoa, terutama mereka yang menjadi minoritas di perantauan.  Pengalaman-pengalaman buruk ketika berdagang, seperti dirampok, barang rusak dalam gudang, barang kurang nilainya karena cacat akibat penyimpanan yang salah, dirongrong petugas pajak, atau perubahan politik moneter yang menyebabkan nilai uang merosot, menjadi penyebabnya.  Sikap hati-hati, yang muncul dari pengalaman-pengalaman buruk tersebut, tercermin dalam perilaku-perilaku: melindungi usaha atau toko secara maksimal, mengendalikan permintaan atau pemasokan, menyimpan barang dengan baik, menjaga rasio uang dan barang, memperjuangkan status hukum, dan mewaspadai perubahan iklim politik.

Menabung
       Menabung, way of life  yang membuat kaya keenam, tentu erat kaitannya dengan prinsip bekerja keras, berhemat, dan menahan diri.  Menurut resep kaya..., logikanya sangat sederhana: sekecil apa pun penghasilan jika dipaksakan ditabung pasti ada hasilnya.  Sebaliknya, sebesar apa pun penghasilan, bila tidak menabung tentu tidak akan kaya.  Bila diimbangi dengan kerja keras untuk mendapatkan hasil lebih, berhemat dalam membelanjakan uang, dan menahan diri untuk tidak konsumtif, tentu cepat membuat orang menjadi kaya.

Menghindari Berhutang
       Untuk menjadi kaya, orang Tionghoa juga berusaha keras menghindari berhutang.  Terutama bila hutang tersebut melebihi aset yang dimiliki.  Berhutang seperti ini ibarat membebani perahu yang kita tumpangi melebihi kekuatan angkutnya.  Cepat atau lambat akan tenggelam.  Berhutang juga menunjukkan bila seseorang sedang terkena masalah meski tujuannya untuk membesarkan usaha.  Maka, bila terpaksa berhutang, orang Tionghoa pertama-tama akan berpaling pada anggota keluarga sendiri.

Bercita-cita
       Way of life  yang membuat kaya selanjutnya adalah bercita-cita.  Cita-cita orang Tionghoa umumnya menjadi kaya, kemudian baru menjadi dokter, pilot, atau jenderal.  Dan ketika menjadi dokter, dokter kaya; jadi pilot, pilot kaya; jadi jenderal, jenderal kaya.  Setelah kaya, orang Tionghoa bercita-cita atau mendambakan umur panjang dan mendapat kebahagiaan.

Ingat anak cucu
       Selanjutnya adalah ingat anak cucu.  Orang-orang Tionghoa yang bekerja keras membanting tulang, kebanyakan berdasar keinginan untuk membuat kehidupan yang lebih baik bagi anak cucunya.  Maka keturunan menjadi sangat penting dalam keluarga Tionghoa.  Pada satu sisi orang Tionghoa rela membanting tulang demi kebahagiaan anak cucu, di sisi lain keturunan dibutuhkan untuk menyokong bisnis yang susah payah mereka rintis.

Never say no
       Terakhir, untuk menjadi kaya, orang Tionghoa memegang prinsip never say no  atau menghindari berkata tidak.  Maksudnya, orang Tionghoa akan menerima apa pun permintaan atau order yang diberikan kepadanya, meski sebenarnya dia tidak memiliki barang yang dipesan.  Tentu bila pesanan itu bisa mendatangkan keuntungan atau laba yang cukup besar.

       Sebuah teladan dari way of life  ini adalah seorang penganggur Tionghoa yang nekad memasang iklan di sebuah koran untuk menerima pesanan amplop berkop nama dan alamat pribadi.  Padahal dia tidak mempunyai kemampuan untuk itu.  Ide ini didapat setelah membaca sebuah majalah sepintas lalu.  Pertimbangannya, kalau toh tidak ada yang pesan, ia hanya rugi sebesar uang pasang iklan.  Tak disangka, ternyata banyak pesanan yang datang.  Dia pun mengoper pekerjaan ini ke percetakan-percetakan terdekat.  Dari keberaniannya memulai sesuatu dan menerima permintaan ini, kemudian anak muda Tionghoa itu sukses, hingga memiliki mesin cetak sendiri.


vœœ
Samudera Pasifik, 02/03/2006. Ditulis kembali oleh pakne WSR