SURYA SARI ENTERPRISE: Ketahanan pangan terancam

Kamis, 11 April 2019

Ketahanan pangan terancam


Ketahanan pangan terancam
Alih fungsi sawah mencapai 40.000 hektare / tahun.
Jakarta (Espos)

       Ketahanan pangan nasional terancam, menyusul terjadinya perubahan fungsi sawah irigasi teknis di Pulau Jawa mencapai 30.0o0 – 40.000 hektare setiap tahun.  Oleh karena itu, perubahan fungsi tersebut harus segera dihentikan.

       “Perlu ditegakkan aturan tata ruang secara serius untuk mencegah alih fungsi sawah-sawah di Pulau Jawa,”  kata Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto saat membuka seminar  Real Estate Indonesia (REI), di Balai Kartini, Jakarta Rabu (13 September 2006).

       Sebab, lanjut Djoko, untuk mengganti sawah-sawah yang berubah fungsi di luar Pulau Jawa membutuhkan waktu lama dan biayanya lebih mahal serta hasilnya tidak sebagus di Pulau Jawa.

       Namun, dengan adanya Rancangan Undang-undang (RUU) Penataan  Ruang yang saat ini masih dibahas di DPR diharapkan ada kejelasan terhadap lahan-lahan yang boleh dibangun termasuk lahan pertanian.

       Djoko berharap anggota REI memperhatikan masalah tata ruang dalam membangun rumah, jangan sampai mengobarkan lahan-lahan sawah teknis.  Djoko mengungkapkan hingga saat ini masih banyak terjadi pelanggaran, salah satunya banyak kawasan resapan yang berubah fungsi menjadi kawasan permukiman.

       “Dalam RUU Penataan Ruang yang bakal menggantikan UU Tata Ruang Nomor 24 Tahun 1992 diatur mengenai sanksi bagi mereka yang melanggar termasuk insentif dan disinsentif yang sebelumnya tidak diatur,” papar Djoko.

       Sejauh ini, kata Djoko, RUU Penataan Ruang sudah memasuki tahap final, termasuk menerima masukan dari berbagai kalangan di antaranya akademisi serta studi banding ke luar negeri.

       Sementara, ketua REI Lukman Purnomosidi mengharapkan, keberadaan RUU Penataan Ruang justru dapat memberikan kepastian dalam berinvestasi.  “Dengan tata ruang diharapkan ada kepastian dalam membangun rumah yang terintegrasi dengan sistem transportasi terutama di kota-kota yang padat penduduknya,” ujarnya.

 Petani miskin
       Di Padang, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal “Ical” Bakrie menilai rendahnya produksi beras hingga tidak mencukupi kebutuhan masyarakat terutama untuk petani sendiri, lebih diakibatkan minimnya lahan pertanian serta penerapan teknologi yang kurang mendukung peningkatan hasilnya.

       “Sekitar 70% petani miskin karena lahan yang terbatas, sedangkan mereka adalah konsumen utama dari beras yang dihasilkannya,”  kata Ical, di Padang, Rabu 13 September.

       Menurut dia, hampir sebagian besar beras yang dihasilkan petani itu habis untuk dikonsumsinya sendiri, sementara hasil yang dicapai sangat terbatas karena minimnya lahan.   “Selain itu, biaya produksi sangat besar, sedangkan mereka tidak menggunakan bibit unggul akibatnya hasil yang diraih sangat terbatas,”  katanya.

       Ical mengatakan, jika pertanian dilakukan dengan teknologi tinggi, maka produksi akan meningkat, dan ini adalah tugas para pakar dan pemerintah untuk melakukan sejumlah terobosan.

       Sementara itu, Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi mengatakan, rendahnya tingkat penggunaan teknologi di daerahnya, karena sejumlah keterbatasan yang dimiliki petani.

       “Keterbatasan tersebut, di antaranya pemilikan lahan yang sempit sehingga tidak mencapai skala usaha ekonomi dan penggunaan teknologi pun tidak menguntungkan,”  katanya.

        Selain itu, lanjut dia, juga keterbatasan modal, keterbatasan pengetahuan, misalnya dengan melakukan pembakaran jerami setelah panen, dapat mengakibatkan ketersediaan unsur hara dalam tanah berkurang.

       Sejumlah keterbatasan tersebut kini menjadi prioritas pemerintah untuk mengatasinya, karena jumlah kepala  keluarga (KK) petani sangat besar yakni 639.700 KK atau 60,8% dari jumlah KK sebanyak 1.052.100 KK di Sumbar. qAnt.