Ketahanan pangan terancam
Alih fungsi sawah mencapai
40.000 hektare / tahun.
Jakarta (Espos)
Ketahanan pangan
nasional terancam, menyusul terjadinya perubahan fungsi sawah irigasi teknis di
Pulau Jawa mencapai 30.0o0 – 40.000 hektare setiap tahun. Oleh karena itu, perubahan fungsi tersebut
harus segera dihentikan.
“Perlu
ditegakkan aturan tata ruang secara serius untuk mencegah alih fungsi
sawah-sawah di Pulau Jawa,” kata Menteri
Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto saat membuka seminar Real Estate Indonesia (REI), di Balai
Kartini, Jakarta Rabu (13 September 2006).
Sebab, lanjut
Djoko, untuk mengganti sawah-sawah yang berubah fungsi di luar Pulau Jawa
membutuhkan waktu lama dan biayanya lebih mahal serta hasilnya tidak sebagus di
Pulau Jawa.
Namun, dengan
adanya Rancangan Undang-undang (RUU) Penataan
Ruang yang saat ini masih dibahas di DPR diharapkan ada kejelasan
terhadap lahan-lahan yang boleh dibangun termasuk lahan pertanian.
Djoko berharap
anggota REI memperhatikan masalah tata ruang dalam membangun rumah, jangan
sampai mengobarkan lahan-lahan sawah teknis.
Djoko mengungkapkan hingga saat ini masih banyak terjadi pelanggaran,
salah satunya banyak kawasan resapan yang berubah fungsi menjadi kawasan
permukiman.
“Dalam RUU
Penataan Ruang yang bakal menggantikan UU Tata Ruang Nomor 24 Tahun 1992 diatur
mengenai sanksi bagi mereka yang melanggar termasuk insentif dan disinsentif
yang sebelumnya tidak diatur,” papar Djoko.
Sejauh ini, kata
Djoko, RUU Penataan Ruang sudah memasuki tahap final, termasuk menerima masukan
dari berbagai kalangan di antaranya akademisi serta studi banding ke luar
negeri.
Sementara, ketua
REI Lukman Purnomosidi mengharapkan, keberadaan RUU Penataan Ruang justru dapat
memberikan kepastian dalam berinvestasi.
“Dengan tata ruang diharapkan ada kepastian dalam membangun rumah yang
terintegrasi dengan sistem transportasi terutama di kota-kota yang padat
penduduknya,” ujarnya.
Di Padang,
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal “Ical” Bakrie
menilai rendahnya produksi beras hingga tidak mencukupi kebutuhan masyarakat
terutama untuk petani sendiri, lebih diakibatkan minimnya lahan pertanian serta
penerapan teknologi yang kurang mendukung peningkatan hasilnya.
“Sekitar 70%
petani miskin karena lahan yang terbatas, sedangkan mereka adalah konsumen
utama dari beras yang dihasilkannya,”
kata Ical, di Padang, Rabu 13 September.
Menurut dia,
hampir sebagian besar beras yang dihasilkan petani itu habis untuk
dikonsumsinya sendiri, sementara hasil yang dicapai sangat terbatas karena
minimnya lahan. “Selain itu, biaya
produksi sangat besar, sedangkan mereka tidak menggunakan bibit unggul
akibatnya hasil yang diraih sangat terbatas,”
katanya.
Ical mengatakan,
jika pertanian dilakukan dengan teknologi tinggi, maka produksi akan meningkat,
dan ini adalah tugas para pakar dan pemerintah untuk melakukan sejumlah
terobosan.
Sementara itu,
Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi mengatakan, rendahnya tingkat penggunaan
teknologi di daerahnya, karena sejumlah keterbatasan yang dimiliki petani.
“Keterbatasan
tersebut, di antaranya pemilikan lahan yang sempit sehingga tidak mencapai
skala usaha ekonomi dan penggunaan teknologi pun tidak menguntungkan,” katanya.
Selain itu,
lanjut dia, juga keterbatasan modal, keterbatasan pengetahuan, misalnya dengan
melakukan pembakaran jerami setelah panen, dapat mengakibatkan ketersediaan
unsur hara dalam tanah berkurang.
Sejumlah keterbatasan
tersebut kini menjadi prioritas pemerintah untuk mengatasinya, karena jumlah
kepala keluarga (KK) petani sangat besar
yakni 639.700 KK atau 60,8% dari jumlah KK sebanyak 1.052.100 KK di Sumbar. qAnt.