10 Cara menjadi kaya Ala Tionghoa
Karena menjadi kaya paling penting bagi orang Tionghoa, maka bila mereka
berdoa memohon sesuatu, urutan pertamanya adalah rezeki. Berbagai cara pun dilakukan untuk mencapainya. Apakah cara-cara itu?
Di sebuah
kampung di pinggiran utara kota Magelang, tinggal satu keluarga Tionghoa. Kehidupan mereka sangat bersahaja, bila tidak
boleh dibilang miskin. Melihat rumah dan
pekerjaan sepasang suami-istri penghuninya, kesan kedua mungkin lebih
tepat. Rumah mereka terbuat dari gedek –
anyaman bambu – yang sudah berlubang di sana-sini. Kambing pun bisa masuk, demikian orang-orang
sekitar menggambarkan keadaan rumah tersebut.
Sedang pekerjaan
mereka, hanya mengumpulkan kaleng bekas yang kemudian dibuat sebagai bahan
mainan anak-anak. Mau tahu apa yang
mereka makan sehari-hari? Kerak
nasi! Kerak, yang oleh orang jawa
disebut intip ini, mereka beli sekedarnya dari penduduk sekitar. Setelah dicuci dan dijemur kering hingga
menyerupai beras kembali, kerak ini kemudian ditanak dan dimakan.
Namun, ada satu
hal yang mengherankan warga sekitar mengenai kehidupan keluarga Tionghoa
tersebut. Meski hidup sangat sederhana,
3 anak mereka tetap bisa sekolah. Bahkan
yang terbesar sudah di SMA. Saat
keheranan warga masih terhenti di dalam hati, mereka malah mendapat kejutan
yang lebih besar.
Tiba-tiba saja,
rumah keluarga Tionghoa yang compang-camping tersebut, dirobohkan. Bukan digusur, tapi dibangun menjadi rumah
tingkat yang cukup mewah. Dan salah satu
ruang bawahnya dijadikan toko kelontong yang sangat lengkap, bak sebuah
minimarket. Sebuah mobil keluaran
terbaru pun menghiasi rumah megah tersebut.
Warga sekitar pun bertanya, bagaimana keluarga Tionghoa tersebut bisa
berubah drastis?
Bukan tuyul atau
pesugihan pesugihan yang lain ternyata.
Selidik punya selidik, perubahan yang terjadi pada keluarga Tionghoa itu
karena kekayaan yang mereka kumpulkan sedikit demi sedikit. Meski penghasilan tidak seberapa, mereka
panda berhemat dan menyisihkan hasil kerja kerasnya untuk ditabung.
Kejadian di
tahun 1970-an tersebut sebenarnya bukan hal yang terlalu mengherankan. Hal seperti ini kerap terjadi pada para
perantau-perantau Tionghoa di Indonesia.
Prinsip dan cara hidup yang mereka terapkan memungkinkan untuk itu. Sejak masih anak-anak mereka dididik untuk
mengejar kekayaan dan kemakmuran material meski tidak sepenuhnya meninggalkan
pemahaman kekayaan spiritual dan budi pekerti.
Dalam buku Resep Kaya Ala Tionghoa – Kiat Sukses Secara
Finansial disebutkan, bagi mereka,
memiliki uang itu penting, meski tidak harus mengabaikan artikulasi spiritual
dan sosial. Hampir segala sesuatu diukur
berdasarkan nilai uang. Bila orang
Tionghoa berdoa meminta sesuatu, maka urutan pertamanya adalah meminta rezeki,
baru kemudian kesehatan dan lain-lain.
Untuk menjadi
kaya, menurut buku tersebut, orang Tionghoa mempunyai 10 cara mencapainya: bekerja keras, berhemat, menahan diri,
memilih berdagang, berhati-hati, menabung, menghindari berhutang, bercita-cita,
ingat anak cucu, dan never say no,
adalah 10 ways of life tersebut!
Bekerja Keras
Prinsip bekerja keras
sebenarnya tidak hanya dimiliki oleh orang-orang Tionghoa saja. Kelompok manusia lain pun menerapkan prinsip
ini. Namun, orang Tionghoa memiliki
ciri-ciri atau tekanan tersendiri dalam menerapkan prinsip ini. Ciri-ciri tersebut adalah bekerja lebih lama,
bekerja lebih maksimal, bekerja untuk esok, bekerja tanpa henti, dan bekerja
apa saja.
Bekerja lebih lama artinya
dalam hitungan satuan waktu, mereka bekerja lebih lama daripada orang
lain. Misalnya toko orang Tionghoa buka
lebih lama daripada toko sebelah yang bukan milik orang Tionghoa. Atau toko orang Tionghoa tetap buka pada hari
libur. Sedang bekerja tanpa henti dan
bekerja lebih maksimal dapat diartikan bagaimana seorang Tionghoa yang selesai
melakukan pekerjaan, melanjutkannya dengan pekerjaan lain, bahkan dengan
mengurangi waktu istirahat atau rekreasinya.
Bekerja lebih baik bisa
bermakna lebih efisien, lebih rapi, dan lebih besar margin labanya. Bekerja untuk esok mempunyai arti melakukan
pekerjaan esok hari pada hari ini. Orang
Tionghoa suka bekerja guna mempersiapkan kebutuhan esok sekaligus pada hari
ini, sehingga tidak berhenti bila belum mendapatkan hasil lebih untuk jatah
besok. Sedang bekerja apa saja berarti
melakukan apa pun pekerjaan termasuk pekerjaan-pekerjaan yang ditolak oleh
orang lain, seperti mengelola pupuk kandang atau mengumpulkan sisa-sisa makanan
untuk pakan ternak.
Berhemat
Cara yang kedua adalah
berhemat. Prinsip ini mengajarkan agar
senantiasa berhitung atau mengendalikan diri dalam pengeluaran. Apa yang dipunyai sekarang adalah hasil
berhemat kemarin. Logikanya, tak ada
gunanya mencari lebih bila kemudian juga berbelanja lebih. Selain bisa menjadikan kaya, cara ini juga
bisa untuk memuliakan generasi berikutnya.
Juga supaya tidak menyusahkan orang lain, karena apa yang kita butuhkan
selalu tersedia dari hasil penghematan tersebut. Berhemat juga mempunyai makna memupuk modal demi
membesarkan usaha.
Menahan diri
Way of life ketiga adalah
menahan diri. Menahan diri untuk tidak
hidup konsumtif, tidak memanjakan tubuhnya.
Dalam dunia modern yang cenderung konsumtif, orang Tionghoa tidak akan
terbebani rasa gengsi bila tidak bisa tampil modis misalnya. Bekerja dengan kaos singlet, celana gombrang,
atau daster bukan menjadi masalah bagi mereka.
Dampaknya, mereka bisa menahan diri terhadap keinginan membeli barang
baru, sampai uang terkumpul hingga dapat membeli secara tunai dan dapat harga
termurah.
Memilih berdagang
Kebanyakan orang Tionghoa
mempunyai semboyan lebih baik menjadi tauke
(bos) kecil daripada menjadi kuli di perusahaan besar. Inilah yang mendasari mereka untuk memilih
berdagang sebagai way of life-nya. Berdagang
memang berisiko daripada makan gaji, tapi kemungkinan untuk kaya pun jauh lebih
besar. Di samping itu juga bisa
mendorong seseorang untuk mandiri karena dituntut untuk bertanggung jawab atas setiap keputusan
yang diambil. Dengan alasan-alasan itu,
tak heran bila usaha-usaha yang dirintis orang Tionghoa banyak menemui
keberhasilan. Meskipun sebenarnya
orang-orang Tionghoa generasi lama memilih berdagang juga karena have nothing
to loose, sebab hanya mengandalkan modal dengkul. Selain memilih berdagang sebagai alternatif
bila tidak memiliki keahlian.
Berhati-hati
Berhati-hati juga menjadi way of life orang-orang Tionghoa, terutama mereka yang
menjadi minoritas di perantauan.
Pengalaman-pengalaman buruk ketika berdagang, seperti dirampok, barang
rusak dalam gudang, barang kurang nilainya karena cacat akibat penyimpanan yang
salah, dirongrong petugas pajak, atau perubahan politik moneter yang
menyebabkan nilai uang merosot, menjadi penyebabnya. Sikap hati-hati, yang muncul dari pengalaman-pengalaman
buruk tersebut, tercermin dalam perilaku-perilaku: melindungi usaha atau toko
secara maksimal, mengendalikan permintaan atau pemasokan, menyimpan barang
dengan baik, menjaga rasio uang dan barang, memperjuangkan status hukum, dan
mewaspadai perubahan iklim politik.
Menabung
Menabung, way of life yang membuat kaya keenam, tentu erat
kaitannya dengan prinsip bekerja keras, berhemat, dan menahan diri. Menurut resep
kaya..., logikanya sangat sederhana: sekecil apa pun penghasilan jika
dipaksakan ditabung pasti ada hasilnya.
Sebaliknya, sebesar apa pun penghasilan, bila tidak menabung tentu tidak
akan kaya. Bila diimbangi dengan kerja
keras untuk mendapatkan hasil lebih, berhemat dalam membelanjakan uang, dan
menahan diri untuk tidak konsumtif, tentu cepat membuat orang menjadi kaya.
Menghindari Berhutang
Untuk menjadi kaya, orang
Tionghoa juga berusaha keras menghindari berhutang. Terutama bila hutang tersebut melebihi aset
yang dimiliki. Berhutang seperti ini
ibarat membebani perahu yang kita tumpangi melebihi kekuatan angkutnya. Cepat atau lambat akan tenggelam. Berhutang juga menunjukkan bila seseorang
sedang terkena masalah meski tujuannya untuk membesarkan usaha. Maka, bila terpaksa berhutang, orang Tionghoa
pertama-tama akan berpaling pada anggota keluarga sendiri.
Bercita-cita
Way of life yang membuat
kaya selanjutnya adalah bercita-cita.
Cita-cita orang Tionghoa umumnya menjadi kaya, kemudian baru menjadi
dokter, pilot, atau jenderal. Dan ketika
menjadi dokter, dokter kaya; jadi pilot, pilot kaya; jadi jenderal, jenderal
kaya. Setelah kaya, orang Tionghoa
bercita-cita atau mendambakan umur panjang dan mendapat kebahagiaan.
Ingat anak cucu
Selanjutnya adalah ingat anak
cucu. Orang-orang Tionghoa yang bekerja
keras membanting tulang, kebanyakan berdasar keinginan untuk membuat kehidupan
yang lebih baik bagi anak cucunya. Maka
keturunan menjadi sangat penting dalam keluarga Tionghoa. Pada satu sisi orang Tionghoa rela membanting
tulang demi kebahagiaan anak cucu, di sisi lain keturunan dibutuhkan untuk
menyokong bisnis yang susah payah mereka rintis.
Never say no
Terakhir, untuk menjadi kaya,
orang Tionghoa memegang prinsip never say
no atau menghindari berkata
tidak. Maksudnya, orang Tionghoa akan
menerima apa pun permintaan atau order yang diberikan kepadanya, meski
sebenarnya dia tidak memiliki barang yang dipesan. Tentu bila pesanan itu bisa mendatangkan
keuntungan atau laba yang cukup besar.
Sebuah teladan dari way of life ini adalah seorang penganggur Tionghoa yang
nekad memasang iklan di sebuah koran untuk menerima pesanan amplop berkop nama
dan alamat pribadi. Padahal dia tidak
mempunyai kemampuan untuk itu. Ide ini
didapat setelah membaca sebuah majalah sepintas lalu. Pertimbangannya, kalau toh tidak ada yang
pesan, ia hanya rugi sebesar uang pasang iklan.
Tak disangka, ternyata banyak pesanan yang datang. Dia pun mengoper pekerjaan ini ke percetakan-percetakan
terdekat. Dari keberaniannya memulai
sesuatu dan menerima permintaan ini, kemudian anak muda Tionghoa itu sukses,
hingga memiliki mesin cetak sendiri.
v
Samudera
Pasifik, 02/03/2006. Ditulis kembali oleh pakne WSR