SURYA SARI ENTERPRISE: Akhir

Rabu, 29 Mei 2019

Akhir


Akhir
            “Kita tahu di mana kita mulai.  Kita tak pernah tahu di mana kita akan mengakhiri”

            Itu ucapan George F. Kennan, sambil duduk dengan tubuh lemah di sebuah panti perawatan.  Usia mantan diplomat Amerika termasyhur itu waktu itu 92 tahun.  Ia kemudian meninggal ketika mencapai 101 – umur yang panjang, dengan pikiran yang masih tajam.
            Hari itu, 26 September 2002, Kennan berbicara tentang niat pemerintah Bush melancarkan perang yang kini disebut “Perang Irak”.  Meramalkah dia?  Atau mengomel, seperti layaknya orang tua?
            Kedua-duanya tidak.  Dalam usianya yang lanjut, pak tua ini hanya mengingat sejarah.  Sebab ia – dibandingkan dengan Presiden Bush yang ingin tampak tegas dan gagah perkasa – telah menyaksikan sendiri berbahayanya keperkasaan dan produktifnya kesabaran.
            Kennan, lahir pada 1904, jadi diplomat sejak umur 20-an.  Ia dikirim ke Moskow sebagai salah satu staf kedutaan pada 1933, ketika Amerika Serikat membuka hubungan diplomatik dengan Uni Soviet.
            Itulah masa ketika Stalin duduk di takhta Kremlin.  Uni Soviet jadi negeri di mana ketakutan adalah politik.  Stalin menghukum mati tokoh-tokoh Partai Komunis yang dianggapnya berkhianat dan memenjarakan ribuan orang ke kamp-kamp tahanan dan melihat dunia luar dengan curiga berat.  Kennan menyaksikan semua itu.  Baginya, Uni Soviet – apalagi setelah berhasil membuat bom atom – sebuah kekuatan berbahaya yang memandang dunia dengan tatapan “neurotik”.
            Tapi diplomat itu tak menganjurkan sebuah invasi.  Di akhir masa tugasnya pada 1946, Kennan mengirim sebuah telegram sebanyak 5.300 patah kata kepada atasannya di Washington DC dengan pesan yang tegas tapi tak galak: strategi yang tepat bukan menggempur, tapi “mengurung” – dan pengurungan atau containment itu harus siap berjangka panjang, “sabar tapi kukuh dan waspada”.
            Beberapa tahun setelah itu Kennan malah makin lunak memandang Uni Soviet.  Dalam Memoirs: 1925-1950 ia mengecam orang yang memencongkan containment jadi pemicu perlombaan senjata nuklir.  Di sebuah wawancara ia bahkan menegaskan: Uni Soviet bukan negeri Hitler.  Tak tampak ada niat Kremlin untuk berperang lagi, kata Kennan, ketika harus bangkit kembali dari kelelahan Perang Dunia II.
            “Sabar tapi kukuh dan waspada” – dan ternyata itulah yang benar.  Tanpa sebutir peluru pun yang ditembakkan ke tubuhnya, Uni Soviet runtuh.  Perang tak selalu perlu, perang penuh dengan kelokan yang mendadak.  “Kita tahu di mana kita mulai.  Kita tak pernah tahu di mana kita akan mengkhiri.”
            Tapi kata-kata itu tenggelam dalam suara serak patriotisme Amerika yang menggila setelah “11/9”.  Syahdan, 20 Maret 2003, dengan restu para wakil rakyat, pasukan Amerika menyerbu Irak.  Suara serak segera bercampur dengan tepuk meriah.  Hanya dalam waktu tiga bulan perang itu selesai, Saddam Hussein lari, dan kemudian tertangkap.
            Pada 1 Mei tahun itu, sebuah potret gilang-gemilang beredar di seluruh dunia: di atas USS Abraham Lincoln, ketika kapal induk itu berada di dekat San Diego, Presiden Bush turun dari kokpit Navy One, sebuah pesawat tempur Lockheed S-3 Viking yang dipakai panglima tertinggi.  Ia mengenakan seragam perang seorang pilot, bak komandan yang baru saja pulang bertempur.  Ia melambai.  Dengan latar belakang matahari tenggelam, sebuah spanduk digelar: Mission Accomplished”.
            Tapi tugas apa yang terlaksana?  Kerja apa yang selesai?  Hari itu pun orang sudah mengomel kenapa spanduk macam itu yang dipasang.  Empat tahun kemudian, 20 Maret 2007 – setelah lebih dari 3.000 prajurit Amerika terbunuh oleh gerilyawan yang tak selamanya jelas identitasnya – orang kian tak tahu apa artinya “tugas” dan apa artinya “selesai”.
            Desember 2006: sebuah laporan dari sebuah tim studi yang dipimpin mantan menteri luar negeri James Baker diumumkan.  Kesimpulannya: “situasi di Irak gawat dan memburuk”, dan “pasukan AS tampaknya terperangkap dalam sebuah misi yang tak kelihatan akhirnya”.
            “Akhir” – betapa sukarnya kata ini dijabarkan dalam perang kali ini!  Dan betapa aneh.  Sebuah perang modern menghendaki perencanaan yang seksama.  Perencanaan ditentukan oleh “akhir”, (kata lain dari “tujuan”), yang dirumuskan persis.  Tapi Perang Irak rupanya sebuah perang yang pelaksanaannya lebih cepat selesai ketimbang usaha merumuskan apa arti “selesai”.
            Pada 20 Maret 2003 itu, tentara AS menyerbu Irak untuk menghabisi senjata pemusnah massal yang dikabarkan diproduksi rezim Saddam Hussein.  Ketika ternyata senjata itu tak ada – sebuah kisah kekonyolan yang brutal, sebenarnya – perang itu pun memaklumkan tujuan yang berbeda.  Atau Amerika berada dalam keadaan ketika sebuah dalil yang lain harus dikatakan.  Di geladak USS Abraham Lincoln Presiden Bush menyebut dua kalimat yang tak ada hubungannya dengan senjata pemusnah massal:  “Kita tengah membantu membangun kembali Irak”, dan “transisi dari kediktatoran ke demokrasi”.
            Tapi “membangun kembali Irak” dan menjaga “transisi ke demokrasi” bukanlah tujuan yang secara rapi dirumuskan dalam sebuah perencanaan.  Sebab, jika yang hendak dicapai adalah sebuah Irak yang “bangun kembali dan demokratis”, apa artinya “bangun”?  Apa artinya “demokratis”?
            Tak ada jawaban – tapi untuk kekosongan itu balatentara Amerika harus ditambah, harus lebih lama bertempur, sementara orang Irak tewas berpuluh-puluh tiap hari.  Amerika yang “menang” akhirnya hanya berarti Amerika yang “tak mundur”.
            Walhasil, Kennan benar:  “Kita tahu di mana kita mulai.  Kita tak pernah tahu di mana kita akan mengakhiri.”
            Ia bukan meramal, ia bukan mengomel.  Ia hanya melihat analogi.  Seandainya Bush menghadapi Saddam Hussein sebagaimana AS dulu menghadapi Uni Soviet, seandainya bukan invasi melainkan containment yang jadi cara berkonfrontasi……
            Tapi apa boleh buat.  Orang Amerika telah memilih sepasang pemimpin, Bush dan Cheney, yang tak tahu berbahayanya keperkasaan dan produktifnya kesabaran.

Catatan Pinggir Goenawan Mohamad, Tempo 8 April 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar