Ini Lokal Lho!!!
Sewaktu masih SMA atau mahasiswa,
barangkali Anda menyukai tas ransel bermerek Eiger. Kemudian celana jin
memilih Lea. Di saat santai tak lupa mengulum coklat
batang SilverQueen. Sesekali kalau bosan makan nasi, beli roti Holland Bakery.
Setelah kerja, pakaian sudah beralih ke
merek Executive atau M2000, dan untuk yang kasual memilih Wood atau Ocean Line. Sepatu resmi
memakai Edward Forrer, sedangkan
untuk joging mengambil Piero. Sekali
waktu mampir di Izzi Pizza untuk mengisi
perut.
Rumah yang dicat dengan Mowilek dilengkapi dengan sanitari Halmar.
Sedangkan untuk furnitur memakai gaya minimalis dan kontemporer bermerek
Vinoti Living. Kitchen set ada Olympic, dan di dalamnya ada sekaleng kopi Excelco serta botol air mineral
Equil. Di garasi, di samping mobil
ada sepeda Polygon.
***
Barang-barang bermerek di atas, boleh
dibilang termasuk untuk kelas menengah-atas (middle-up). Merek yang
dipakai tampak keren, dan sekaligus
menyiratkan mutu produk terjamin. Dan
jika barang bermerek di atas menjadi pilihan Anda, maka: teruskan.
Kenapa harus diteruskan? Karena dengan fanatik dengan merek di atas,
maka Anda menyelamatkan devisa negara.
Barang yang mereknya menggunakan kosa kata asing itu bukan dari luar
negeri, melainkan buatan lokal. Jadi
ketika anda membeli, maka uang Anda berputar di negeri ini juga.
Keuntungan lain menggunakan produk lokal
adalah, jika perusahaan tersebut untung, maka uangnya akan diinvestasikan di
sini, sehingga akan kembali menyerap tenaga kerja. Kalaupun diinvestasikan keluar, maka
keuntungan di negeri seberang itu akhirnya masuk ke sini juga.
Masih ada beberapa produk lokal yang
bermerek asing, dan sebagian sudah di ekspor.
Kita lihat tas Elizabeth
misalnya sudah merambah nusantara. Sepatu Sophie Martin sudah merambah
Filipina dan Australia. Ada juga sepatu Apple Green, atau barang elektronik Polytron.
Memang, penggunaan merek asing akan
terlihat semakin ‘PD’ (percaya diri).
Mereka sepertinya tidak yakin bahwa dengan menggunakan merek lokal,
pasar akan menerima, terutama jika yang dibidik kelas atas. Kebanggan terhadap kosa kata sendiri tidak
ada.
Tetapi barangkali itu memang strategi
jitu untuk pasar Indonesia. Harus diakui
bahwa sebagian besar masyarakat kita tidak yakin dengan keandalan produk
lokal. Mereka juga merasa kurang gaya
jika menggunakan merek lokal.
Asing
minded telah meracuni otak kita, sehingga selalu
saja secara otomatis menempatkan merek asing sebagai barang yang lebih berkualitas
dibanding lokal. Dan selalu saja
menempatkan produk asing lebih bergengsi ketimbang lokal.
Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian
dari pembelanja produk lokal tersebut mengira bahwa produk yang dibeli bikinan
asing. Mungkin jika sejak awal tahu
bahwa produk tersebut produk lokal, batal membeli. Tetapi tak masalah, karena kualitas produk
bagus dan tetap bergengsi.
Kita sudah terlambat untuk bisa seperti
Korea atau Jepang yang produk globalnya menggunakan merek lokal mereka. Pada awal pembangunan, mereka memproteksi
produk luar dan mengembangkan produk lokal dengan merek lokal. Lama-kelamaan mereka ketagihan bahkan sangat
PD dengan produk sendiri.
***
Bagaimanapun, produk lokal di atas meski
bermerek asing, pantas diacungi jempol.
Apalagi sebagian produk tersebut sudah diekspor ke negara maju. Sehingga, bukan saja kita tak perlu
menghamburkan devisa untuk memperoleh barang kesukaan, tetapi juga mendatangka
devisa.
Merek lokal memang penting untuk
kebanggaan diri. Tetapi membuat barang
yang bisa diminati oleh orang sendiri juga tak kalah pentingnya, meskipun harus
menggadaikan kosa kata sendiri.
Produk lokal dengan merek asing juga
terasa lebih berharga ketimbang merek lokal tapi dikuasai asing (lihat, Oo...Asing Too?). sampai pada suatu saat, masyarakat kita
ketagihan akan produk lokal, dan saat itu pula dijejali produk lokal dengan
merek lokal.
·
Tulisan ini terinspirasi oleh
kenyataan bahwa kadang kita perlu menggunakan merek asing untuk produk lokal
agar cepat laku.
Di sadur dari:
Kitab Negara Kuli (Apa lagi yang kita punya?)
Karya Anif Punto Utomo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar