Mau Kaya...? Jadi Politisi!
Robert T. Kiyosaki, penulis buku ‘Rich
Dad, Poor Dad’, memprovokasi bahwa jika kita ingin kaya maka kita harus
menjalankan usaha sendiri. Kelak
hasilnya, bukan kita bekerja untuk uang, tapi uang yang bekerja untuk kita.
Kiyosaki benar. Apalagi jika kita
melihat kesuksesan Bill Gates, sebagaimana dicontohkan Kiyosaki dalam buku
itu. Godfather di bidang teknologi
informasi itu, kini menjadi orang terkaya di dunia karena menjalankan usaha
sendiri, Microsoft Corporation.
Tapi barangkali dia perlu juga melakukan
penelitian di Indonesia untuk memperkuat data untuk mendukung pendapatnya. Karena di Indonesia ini ada cara pintas untuk
menjadi kaya yang tidak terdapat dalam buku-bukunya. Jalan pintas itu adalah menjadi politisi!
Tumbangnya Soeharto pada 1998 telah
mengubah peta politik nasional.
Bersamaan dengan itu kemudian muncul politisi baru yang duduk di
parlemen maupun di pemerintahan.
Muka-muka baru yang dulunya biasa-biasa saja itu kini telah menjadi
orang kaya raya.
Coba kita lihat wakil Presiden Hamzah
Haz yang telah belasan tahun menjadi anggota DPR. Kekayaan yang dilaporkan ke KPKPN (Komisi
Pemeriksaan Kekayaan Pejabat Negara) sebesar Rp 19,9 miliar. Padahal kalau melihat bisnis yang digeluti
tidak gede-gede amat.
Belum lagi ketika dia bersama 107 orang
pergi naik haji. Sekitar 84 orang
dibiayai sendiri dengan ongkos 6.400 dolar per kepala, sehingga totalnya Rp 5,4
miliar. Mampukah dia membelanjakan uang
sebesar itu untuk membawa rombongan haji, kalau saja dia tidak jadi politisi?
Atau kita tengok betapa cepatnya seorang
Mochamad Basuki yang tadinya tukang las, tiba-tiba menjadi kaya raya. Kenapa?
Karena dia kini ketua DPRD Surabaya yang gajinya 39 juta per bulan,
diluar tunjangan transportasi, biaya baju dinas, dan tunjangan tetek bengek
lainnya.
Politisi kini menjadi profesi
menggiurkan. Di profesi inilah akan
terjadi lompatan kesejahteraan, di mana kecepatan lompatannya mengalahkan
bisnis di bidang apapun. Termasuk bisnis
yang direkomendasikan Kiyosaki, yakni bisnis jaringan.
Memang begitukah dunia politisi? Sebetulnya tidak. Di beberapa negara, politisi bukan profesi
untuk mengeruk uang, tetapi justru membelanjakan uang. Di sana, orang terjun ke politik ketika dia
sudah tidak lagi memikirkan kebutuhan.
Mereka sudah kaya duluan, baru masuk ke politik.
Ambil contoh Perdana Menteri Thailand
Thaksin Shinawatra. Dia terjun ke
politik ketika kekayaannya sudah mencapai dua miliar dolar, hasil dari Shin
Corp. yang dikomandaninya. Tak kurang
100 juta dolar dia keluarkan untuk membiayai sendiri kampanye dan pendirian
partai Thai Rak Thai.
“Saya mungkin politisi terkaya di
Thailand,” kata Thaksin dalam wawancara dengan Far Eastern Economic Review,
Juni 1999. tapi jelas kekayaannya itu
bukan diperoleh ketika dia menjadi politisi.
Begitu juga Ross Perot. Kandidat Presiden Amerika Serikat pada 1992
dan 1996 tersebut membiayai sendiri kampanyenya sebagai calon Presiden dari
kalangan independen (non partai).
Pebisnis yang pernah menjadi salesman di IBM itu ke politik setelah
kekayaannya mencapai tiga miliar dolar.
Kita mesti belajar dari Thaksin-Thaksin
dan Perot-Perot lainnya. Mereka, para
politisi, terjun di dunia politik ketika perut sudah kenyang, sehingga yang
dipikirkan adalah pengabdian kepada negara dan bangsa. Peningkatan kesejahteraan rakyat menjadi
prioritas.
Pengalaman selama ini menunjukkan,
kebanyakan politisi kita masuk panggung politik ketika perut lapar, sehingga
apapun dimakan. Tak heran kalau orang
seperti ketua DPRD Surabaya yang sudah bergaji besar itu masih juga korupsi
sehingga harus meringkuk di tahanan. Di
sini, terjun ke politik adalah untuk mencari kekuasaan dan kekayaan.
Tak ada salahnya menjadi kaya. Bahkan agama pun menganjurkan agar kita
mencari kekayaan sebesar-besarnya sehingga bisa memberikan zakat
sebanyak-banyaknya. Masalahnya adalah,
jalan apa yang kita tempuh untuk memupuk kekayaan tersebut.
Kalau Anda suka menari di atas penderitaan
orang lain, maka pilihlah profesi politisi sebagai jalan pintas menjadi kaya.
26 Februari 2003
* Artikel ini diilhami oleh begitu
melejitnya kekayaan para politisi di era reformasi.
Di sadur dari:
Kitab Negara Kuli (Apa lagi yang kita punya?)
Karya Anif Punto Utomo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar