SURYA SARI ENTERPRISE: Mau Kaya...? Jadi Politisi!

Rabu, 15 Mei 2019

Mau Kaya...? Jadi Politisi!


Mau Kaya...? Jadi Politisi!

        Robert T. Kiyosaki, penulis buku ‘Rich Dad, Poor Dad’, memprovokasi bahwa jika kita ingin kaya maka kita harus menjalankan usaha sendiri.  Kelak hasilnya, bukan kita bekerja untuk uang, tapi uang yang bekerja untuk kita.
       Kiyosaki benar. Apalagi jika kita melihat kesuksesan Bill Gates, sebagaimana dicontohkan Kiyosaki dalam buku itu.  Godfather di bidang teknologi informasi itu, kini menjadi orang terkaya di dunia karena menjalankan usaha sendiri, Microsoft Corporation.
       Tapi barangkali dia perlu juga melakukan penelitian di Indonesia untuk memperkuat data untuk mendukung pendapatnya.  Karena di Indonesia ini ada cara pintas untuk menjadi kaya yang tidak terdapat dalam buku-bukunya.  Jalan pintas itu adalah menjadi politisi!
       Tumbangnya Soeharto pada 1998 telah mengubah peta politik nasional.  Bersamaan dengan itu kemudian muncul politisi baru yang duduk di parlemen maupun di pemerintahan.  Muka-muka baru yang dulunya biasa-biasa saja itu kini telah menjadi orang kaya raya.
       Coba kita lihat wakil Presiden Hamzah Haz yang telah belasan tahun menjadi anggota DPR.  Kekayaan yang dilaporkan ke KPKPN (Komisi Pemeriksaan Kekayaan Pejabat Negara) sebesar Rp 19,9 miliar.  Padahal kalau melihat bisnis yang digeluti tidak gede-gede amat.
       Belum lagi ketika dia bersama 107 orang pergi naik haji.  Sekitar 84 orang dibiayai sendiri dengan ongkos 6.400 dolar per kepala, sehingga totalnya Rp 5,4 miliar.  Mampukah dia membelanjakan uang sebesar itu untuk membawa rombongan haji, kalau saja dia tidak jadi politisi?
       Atau kita tengok betapa cepatnya seorang Mochamad Basuki yang tadinya tukang las, tiba-tiba menjadi kaya raya.  Kenapa?  Karena dia kini ketua DPRD Surabaya yang gajinya 39 juta per bulan, diluar tunjangan transportasi, biaya baju dinas, dan tunjangan tetek bengek lainnya.
       Politisi kini menjadi profesi menggiurkan.  Di profesi inilah akan terjadi lompatan kesejahteraan, di mana kecepatan lompatannya mengalahkan bisnis di bidang apapun.  Termasuk bisnis yang direkomendasikan Kiyosaki, yakni bisnis jaringan.
       Memang begitukah dunia politisi?  Sebetulnya tidak.  Di beberapa negara, politisi bukan profesi untuk mengeruk uang, tetapi justru membelanjakan uang.  Di sana, orang terjun ke politik ketika dia sudah tidak lagi memikirkan kebutuhan.  Mereka sudah kaya duluan, baru masuk ke politik.
       Ambil contoh Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra.  Dia terjun ke politik ketika kekayaannya sudah mencapai dua miliar dolar, hasil dari Shin Corp. yang dikomandaninya.  Tak kurang 100 juta dolar dia keluarkan untuk membiayai sendiri kampanye dan pendirian partai Thai Rak Thai.
       “Saya mungkin politisi terkaya di Thailand,” kata Thaksin dalam wawancara dengan Far Eastern Economic Review, Juni 1999.  tapi jelas kekayaannya itu bukan diperoleh ketika dia menjadi politisi.
       Begitu juga Ross Perot.  Kandidat Presiden Amerika Serikat pada 1992 dan 1996 tersebut membiayai sendiri kampanyenya sebagai calon Presiden dari kalangan independen (non partai).  Pebisnis yang pernah menjadi salesman di IBM itu ke politik setelah kekayaannya mencapai tiga miliar dolar.
       Kita mesti belajar dari Thaksin-Thaksin dan Perot-Perot lainnya.  Mereka, para politisi, terjun di dunia politik ketika perut sudah kenyang, sehingga yang dipikirkan adalah pengabdian kepada negara dan bangsa.  Peningkatan kesejahteraan rakyat menjadi prioritas.
       Pengalaman selama ini menunjukkan, kebanyakan politisi kita masuk panggung politik ketika perut lapar, sehingga apapun dimakan.  Tak heran kalau orang seperti ketua DPRD Surabaya yang sudah bergaji besar itu masih juga korupsi sehingga harus meringkuk di tahanan.  Di sini, terjun ke politik adalah untuk mencari kekuasaan dan kekayaan.
       Tak ada salahnya menjadi kaya.  Bahkan agama pun menganjurkan agar kita mencari kekayaan sebesar-besarnya sehingga bisa memberikan zakat sebanyak-banyaknya.  Masalahnya adalah, jalan apa yang kita tempuh untuk memupuk kekayaan tersebut.
       Kalau Anda suka menari di atas penderitaan orang lain, maka pilihlah profesi politisi sebagai jalan pintas menjadi kaya.

26 Februari 2003
* Artikel ini diilhami oleh begitu melejitnya kekayaan para politisi di era reformasi.
Di sadur dari:
 Kitab Negara Kuli (Apa lagi yang kita punya?)
Karya Anif Punto Utomo   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar