Batas
Bom atom dijatuhkan di Nagasaki dan
Hirosima, dengan cahaya panas yang mengerikan pada bulan Agustus 1945. jepang pun takluk. Maka Amerika Serikat keluar dari perang besar
itu dengan kekuatan yang membuat gentar siapa saja. Tak ada yang menandingi. Dari musim panas yang bersejarah itu, abad
ke-20 seperti sudah siap menjadi “Abad Amerika”.
Tapi pada bulan November, Walter Lippman
menuliskan kata-kata itu dalam kolom regulernya, Today & Tomorrow: “Betapapun besarnya, kekuatan Amerika terbatas.” Ia tak terbawa oleh suasana bertepuk
tangan. Ia tak hanyut.
Saya tak tahu kenapa ia bisa melihat,
sendirian, apa yang tak dilihat orang ramai itu. Lippman pernah mencemaskan demokrasi sebagai
medan “mentalitas kawanan”. Ia melawan
itu, dan anehnya terkadang ia bisa memberikan sesuatu kepada orang banyak yang
tengah menghadapi tahun-tahun yang merisaukan.
Tahun yang seperti itu tak
putus-putusnya datang pada abad ke-20.
dan Lippmann pun, jurnalis terbesar pada zamannya, yang hidup antara
1889 dan 1974, telah melintasi pelbagai babagan besar dalam sejarah: dua perang
dunia, beberapa dasawarsa “Perang Dingin”, dan sederet panjang pemerintahan,
sejak Presiden Woodrow Wilson sampai Nixon.
Hampir tiap hari dalam hidupnya ia mengamati, merenungkan, menulis –
dengan pikiran jernih dan rasa prihatin yang sejati.
Juga ketika para pemimpin politik di
Washington, DC, tengah membusungkan dada.
Menyadari diri sebagai pemegang monopoli mutlak atas senjata pemusnah,
AS mulai berani berkeras menghadapi salah satu kekuatan penting yang muncul
dari Perang Dunia II: Uni Soviet. Ketika
Moskow ingin meminjam uang untuk membangun ekonomi yang berantakan, Washington
tak mendengarkan. Kedua pihak memang
sejak mula saling curiga, tapi sejak itu mereka jadi bermusuhan secara
terbuka. Tulis Lippmann dengan nada
masygul: Amerika “tengah menuju ke sebuah bencana”.
Bencana itu menjadi nyata ketika Uni
Soviet berhasil mengembangkan senjata atom sendiri. Sejak itu dunia hidup dalam “Perang Dingin”
yang selalu hanya beberapa senti saja jaraknya dari kiamat. Tapi dari segi lain juga bisa dikatakan bahwa
justru sebab itu sebuah “perdamaian” pun berlangsung – meskipun palsu. Setelah Uni Soviet mempunyai peluru-peluru
kendali nuklir, sebuah balance of teror pun
terjadi, dan kedua pihak sama-sama ketakutan untuk memulai menembak.
Ketakutan – tapi bersama dengan itu,
hilangnya ketakaburan. Sebagaimana
dikutip oleh Ronald Steel dalam Walter
Lippmann and the American Century, kolumnis besar ini menyebut sebuah kata
yang agak ganjil dalam politik internasional: huminity, kerendah-hatian, yang baginya jadi sember sikap arif
menghadapi dunia. Ia juga menyebut good manners, fi’il yang baik, dan courtesy of the soul, sikap santun dari
batin – hal-hal yang menurut dia harus dibawakan oleh kekuatan-kekuatan besar
di dunia, agar mereka “diterima oleh yang lain”.
Suara seorang ethikus yang kuno dalam
politik internasional? Lippmann agaknya
tak bermaksud demikian. Ia hanya ingin
sesuatu yang praktis: bagaimana membentuk sebuah komunitas dunia yang terasa
“lebih adil”, dan sebab itu yang kuat mudah diterima oleh yang lemah, dan
pemaksaan tak terjadi, hingga lebih sedikit pula kemungkinan konfliknya. Di balik nada ethisnya, ia tak buta terhadap
Realpolitik.
Sebab itu perdamaian, baginya, bukanlah
dunia yang berubah jadi satu. Seperti
John Lennon, hanya dalam lagu kita bisa membayangkan negara-negara yang hilang
dari muka bumi: “Imagine, there is no
country”. Selepas lagu itu, dunia
akan kembali tampak terdiri dari kekuatan yang berbeda-beda – dan Lippmann tak
percaya bahwa kekuatan yang besar bersedia menyerahkan nasibnya kepada kekuatan
yang lebih kecil, meskipun mereka membentuk suara mayoritas di dunia.
Pada tahun 1943, ia menulis buku dengan
judul yang kering tapi isi yang eksplosif, U.S.
Foreign Policy: Shield of the Republic.
Tak disangka-sangka, buku itu terjual laris, hampir setengah juta kopi
dibeli khalayak dalam waktu singkat. Argumennya
kini terasa biasa saja, namun di tengah kecamuk perang di Eropa, ketika orang
memimpikan kerukunan dunia, argumen itu punya daya pukul tersendiri.
Lippmann bertolak dari asumsi bahwa
untuk kerukunan dunia, yang penting bagi setiap negeri adalah “kepentingan
nasional”. Perdamaian bukan datang bukan
karena orang menafikan “kepentingan nasional”, melainkan karena sejumlah
kekuatan besar bersedia bekerja sama.
Tiap kehendak bekerja sama mengandung
kesadaran akan batas – kata lain dari kerendah-hatian. Itu sebabnya Lippmann memandang Uni Soviet
dan penyebaran pengaruhnya di Eropa Timur sebagai sesuatu yang harus diterima –
sebagaimana AS mempunyai “wilayah pengaruh” di bagian dunia lain. Dunia tak mungkin dikendalikan oleh satu
pusat. Tata dunia adalah sebuah oligarki
yang tidak tunggal.....
Ini semua berubah, pada suatu hari,
hampir seperempat abad setelah Lippmann
meninggal. Tembok Berlin dihancurkan. Uni Soviet berhenti menjadi sebuah pengimbang
Amerika. Bisakah, dan perlukah, kini
Amerika bicara tentang “kerendah-hatian”?
bisakah kita, seperti Lippmann pada tahun 1945, mengatakan bahwa
betapapun besarnya, kekuatan Amerika terbatas?
Presiden Bush akan bilang “tidak”. Ia merasa bisa mengabaikan suara PBB dan
suara orang ramai di dunia, begitu ia memutuskan untuk menyerang Irak. Batas, baginya, adalah kata yang sulit
dipahami. Ia tak pernah membaca
Lippmann: “Tak ada kiat yang lebih
sulit ketimbang menjalankan sebuah kekuasaan yang besar dengan tepat... semua tergantung bagaimana kita secara kena
mengukur kekuatan kita, dan bagaimana secara benar melihat kemungkinan-kemungkinan
dalam keterbatasannya...”
Goenawan Mohamad
*) Catatan
Pinggir Tempo edisi 16 Maret
2003.
*) dimuat kembali
pada edisi 3 Desember 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar