Resep Sukses Bisnis Orang Tionghoa
Status sebagai perantauan dan berbagai kebijaksanaan politik
yang membebani mereka, membuat orang Tionghoa memiliki cara-cara untuk sukses
dalam berbisnis
Dalam peta
kekuatan bisnis di Indonesia, dari zaman ke zaman, etnis Tionghoa bisa
dikatakan sebagai panglimanya. Meski
seringkali menimbulkan ‘banyak reaksi’, dominasi ekonomi mereka tidak pernah
surut. Bahkan dalam kondisi sosial ekonomi
yang berbeda-beda mereka tetap survive
sebagai ‘panglima ekonomi’ di negara ini.
Sejak masa kolonial, orde lama, orde baru, hingga di era penuh
keterbukaan sekarang ini.
Dan itu tidak
hanya terjadi di Indonesia. Di beberapa
negeri perantauan, para ‘Overseas Tionghoa’ juga mengalami kesuksesan
serupa. Sebuah penelitian menunjukkan,
di negara-negara yang didatanginya, keturunan Tionghoa bisa menguasai 60%
perekonomian negara. Menurut data Gordon
Redding, Kepala Lembaga Penelitian Manajemen Universitas Hongkong, di Indonesia
pada 1990-an, masyarakat Tionghoa yang berjumlah 2,1% dari keseluruhan penduduk
negeri ini, bisa menguasai dari keseluruhan sektor ekonomi nasional.
Di Thailand,
dari 8% penduduk keturunan Tionghoa, bisa menguasai 60% modal nasional
negara. Demikian pula di Philipina. Warga Tionghoa-nya yang hanya berjumlah 10%
dari total penduduk, berhasil menguasai 68% modal ekonomi nasional. Di Malaysia, mereka bisa menguasai 2/3 sektor
perekonomian swasta. Padahal warga
Tionghoa di negara tersebut hanya sekitar 1/3 dari jumlah penduduk.
Di Indonesia,
menurut Toto Pranoto dalam laporannya “Perilaku
Manajemen Cina Dalam Praktek” yang
dimuat majalah ‘Management & Usahawan Indonesia’, Juni 1990, selain
karakter yang dibawa oleh ‘darah’ kesukuannya, kekuatan ekonomi yang dimiliki
oleh etnis Tionghoa, ternyata juga dipengaruhi oleh perlakuan kolonial Belanda
di masa lalu. Saat para imigran dari
Tiongkok datang pertama kali di Nusantara, mereka diberi peran oleh Belanda
sebagai pedagang perantara. Tetapi
ketika peranan mereka semakin besar, memunculkan kekhawatiran bagi Belanda
sendiri. Maka Belanda pun menerapkan
standar ganda untuk meredam kemajuan bisnis mereka.
Di satu sisi
mereka tetap sebagai penghubung dengan pihak pribumi, tetapi di sisi lain
mereka dilarang terjun dalam bisnis besar yang banyak dikuasai
perusahaan-perusahaan Belanda. Ruang
gerak mereka pun semakin dibatasi ketika Belanda menerapkan kebijakan wijkenstelsel. Dalam kebijakan ini mereka harus tinggal di
pemukiman khusus. Di perkampungan yang
kemudian disebut ‘pecinan’ ini, mereka dipisahkan dari golongan penduduk lain.
Tetapi justru
dalam perkampungan yang homogen ini, proses nation-building
dan proses alih teknologi antar suku berjalan dengan cepat. Hingga akhirnya mereka berkembang sebagai
suatu kelompok masyarakat yang kokoh.
Dan seperti di atas, kenyataan telah membuktikan bahwa dalam situasi
politik apa pun, mereka tetap survive
sebagai leader dalam bidang ekonomi.
Kekokohan
mereka, salah satunya terlihat dalam cara mereka me-manage usahanya. Menurut Toto,
dalam manajemen usaha mereka, terdapat beberapa ciri spesifik dari aspek
manajemen yang melekat dan diaplikasikan dalam perilaku bisnis mereka
sehari-hari. Ciri-ciri khusus ini juga
bisa dikatakan sebagai filosofi bisnis orang-orang Tionghoa.
Disebut khusus
karena pola manajemen mereka berbeda dengan manajemen gaya Barat, Jepang, atau
yang dipraktekkan para pengusaha pribumi.
Perbedaan yang tidak bisa dijembatani adalah perbedaan yang bersifat
kultural yang memang spesifik ada pada masyarakat Tionghoa. Kondisi mereka sebagai orang perantauan yang
sering mendapatkan masalah di negeri rantau, malah menempa mereka menjadi orang
yang survive, ulet, kreatif, dan
spekulatif secara spartan.
Kepercayaan
Dalam menjalankan bisnis,
orang Tionghoa sangat memperhatikan kepercayaan terhadap partner bisnis. Jika rasa percaya telah tertanam terhadap
mitra bisnis, maka untuk selamanya hubungan bisnis bisa berjalan dengan
baik. Dan biasanya berjalan terus hingga
generasi berikutnya.
Tentang kepercayaan ini, ada
sebuah pengalaman menarik dari seorang pengusaha asal Jakarta. “Suatu ketika barang dagangan dalam gudang
saya terbakar habis. Saya tidak
mengasuransikannya. Banyak pihak yang
pesimis dengan nasib bisnis saya selanjutnya.
Tetapi tauke saya segera
memasok barang dalam jumlah yang lebih besar dan saya dapat lagi sedikit demi
sedikit,” ujarnya. Menurut dia, semua
itu karena faktor kepercayaan semata-mata.
“Kita telah menjalin hubungan dagang selama belasan tahun. Tidak ada kekhawatiran di pihak dia,”
lanjutnya.
Masalah kepercayaan ini
begitu penting, sebab jika seorang pengusaha Tionghoa telah dirusak
kepercayaannya oleh pihak lain maka biasanya sulit untuk memulihkan kembali
kepercayaan pada pihak bersangkutan.
Tetapi sekali mereka percaya, dalam kondisi apa pun mereka akan selalu
mempercayai.
Budaya Nenek Moyang
Masyarakat Tionghoa di
perantauan umumnya masih dipengaruhi oleh Confusianisme. Segala tindakan dalam hidup selalu
diperhitungkan baik-buruknya berdasarkan petunjuk-petunjuk yang diberikan
ajaran tersebut. Termasuk tindakan dalam
dunia bisnis. “Untuk menentukan kapan
sebaiknya toko buka, harus menghadap ke arah mana letakknya, kapan kita boleh
memperluas usaha, semuanya harus diatur sesuai petunjuk para suhu di klenteng,” tutur seorang pengusaha dari Surabaya.
Mereka juga memiliki
penghormatan yang sangat tinggi terhadap orang tua atau orang yang lebih
tua. Ketika usaha warisan orang tua
telah menjadi besar, si anak tetap memperhatikan nasehatnya. Bahkan manifestasi dari rasa hormat pada
orang tua diwujudkan sampai yang bersangkutan meninggal dunia. Hal ini biasanya terlihat dalam bentuk
bangunan makam yang mewah untuk jasad orang tuanya. Kemewahan makam ini semata-mata sebagai
perwujudan rasa bakti mereka pada orang tua.
“Mereka telah menjadikan kita berhasil dalam hidup. Wajar kalau kita berhutang budi,” kata seorang ahli waris pabrik tekstil di
Bandung.
Kekerabatan Yang Kuat
Kekerabatan yang kuat ini
biasanya terjadi di antara keluarga satu clan. Biasanya dalam satu clan terdapat perkumpulan
yang mempersatukan ikatan kekeluargaan mereka.
Bentuk kegiatan yang dilakukan beragam mulai dari arisan untuk menolong
mereka yang kekurangan modal sampai usaha untuk merujukkan anggota clan yang
terlibat perselisihan antar keluarga.
Dalam hal ini peran orang yang dituakan sangat menonjol karena harus
bisa menjadi panutan bagi keluarga yang lebih muda.
Usaha bisnis orang-orang
Tionghoa biasanya berbentuk perusahaan keluarga. Dan dalam perusahaan itu, biasanya ada satu
orang memegang tampuk pimpinan utama, yang membuat keputusan-keputusan
bisnis. Dengan mengelola sendiri suatu
perusahaan, maka seseorang bisa mengetahui secara pasti tujuan-tujuan yang dicapainya. Tidak akan terpengaruh oleh orang lain dari
luar perusahaan, dan memberi kepuasan tersendiri.
Bentuk yang lebih besar dan
formal dari ikatan kekeluargaan antar keluarga ini adalah rumah abu. Tempat ini bukan hanya menjadi lembaga yang
mengurus persoalan kematian, tetapi juga dipakai sebagai organisasi formal yang
mempersatukan orang-orang Tionghoa secara sosial.
Hubungan Dengan Pejabat
Sifat keempat dalam perilaku
bisnis orang Tionghoa adalah selalu dibinanya hubungan baik dengan pihak-pihak
yang dianggap bisa mempermudah usaha mereka.
Khususnya dengan para pejabat.
Hubungan ini terutama yang berkaitan dengan keluar tidaknya ijin untuk
usaha yang dijalankan. Pebisnis Tionghoa
akan berusaha mendekati dan mendapatkan relasi dengan pejabat baru bila pejabat
lama berhenti atau dimutasi. Bagi
orang-orang Tionghoa, selama masih ada ‘celah’ dalam birokrasi berarti sebuah
kesempatan.
Ulet Dan Kreatif
Seorang pengusaha Tionghoa
biasanya tidak langsung duduk dalam posisi nyaman ketika baru mulai menerjuni
dunia usaha. Dari masa anak-anak, mereka
harus merasakan bagaimana sulitnya mencari uang. Tidak boleh cepat merasa capai dan malu untuk
itu. Bahkan yang sering terjadi seorang
anak harus belajar sambil bekerja, meski dia adalah anak seorang pengusaha
besar. Mereka dididik menjadi orang yang
ulet untuk kesuksesan mereka sendiri di kemudian hari.
Sifat kreatif terlihat dari
cepatnya adaptasi yang mereka lakukan terhadap produk yang sifatnya baru. Ketika mereka pergi ke luar negeri, mereka
tidak sekadar meluruskan otot, tetapi juga melihat produk-produk baru yang
sedang trend dan mencoba membawanya
pulang. Sebuah contoh menarik terjadi
pada 1970-an ketika seorang pengusaha memproduksi minyak rambut ‘Tancho’ dan
berhasil laku keras. Ternyata kemudian
datang gugatan dari pemilik sah merek tersebut di Jepang yang merasa produknya
telah dibajak di Indonesia. Si tergugat
rupanya memang baru kembali dari lawatan ke Jepang dan mendapat ilham untuk
memproduksi minyak rambut tersebut.
Berani Mengambil Resiko
Para pengusaha Tionghoa yang
sukses biasanya adalah spekulan-spekulan yang berani mengambil keputusan besar
ketika kesempatan untuk mengambil resiko terbuka lebar. Beberapa pendapat menyatakan bahwa karakter
ini erat hubungannya dengan kebiasaan mereka yang senang dengan
permainan-permainan bersifat judi.
“Ketika partner saya seorang Tionghoa, berencana membeli tanah di daerah
‘segitiga emas’ di Jakarta dengan harga ratusan ribu per meter persegi, saya
anggap dia gila. Tetapi ia nekat
membeli. Sekarang apa yang terjadi? Harga tanah di kawasan tersebut telah
berkembang menjadi jutaan rupiah per meter persegi! Dan ini berlangsung dalam waktu tidak terlalu
lama,” cerita seorang pengusaha.
v
Selat
Taiwan, 03/03/2006. Ditulis kembali oleh pakne WSR