SURYA SARI ENTERPRISE: Resep Sukses Bisnis Orang Tionghoa

Kamis, 02 Mei 2019

Resep Sukses Bisnis Orang Tionghoa


Resep Sukses Bisnis Orang Tionghoa
Status sebagai perantauan dan berbagai kebijaksanaan politik yang membebani mereka, membuat orang Tionghoa memiliki cara-cara untuk sukses dalam berbisnis

       Dalam peta kekuatan bisnis di Indonesia, dari zaman ke zaman, etnis Tionghoa bisa dikatakan sebagai panglimanya.  Meski seringkali menimbulkan ‘banyak reaksi’, dominasi ekonomi mereka tidak pernah surut.  Bahkan dalam kondisi sosial ekonomi yang berbeda-beda mereka tetap survive sebagai ‘panglima ekonomi’ di negara ini.  Sejak masa kolonial, orde lama, orde baru, hingga di era penuh keterbukaan sekarang ini.

       Dan itu tidak hanya terjadi di Indonesia.  Di beberapa negeri perantauan, para ‘Overseas Tionghoa’ juga mengalami kesuksesan serupa.  Sebuah penelitian menunjukkan, di negara-negara yang didatanginya, keturunan Tionghoa bisa menguasai 60% perekonomian negara.  Menurut data Gordon Redding, Kepala Lembaga Penelitian Manajemen Universitas Hongkong, di Indonesia pada 1990-an, masyarakat Tionghoa yang berjumlah 2,1% dari keseluruhan penduduk negeri ini, bisa menguasai dari keseluruhan sektor ekonomi nasional.

       Di Thailand, dari 8% penduduk keturunan Tionghoa, bisa menguasai 60% modal nasional negara.  Demikian pula di Philipina.  Warga Tionghoa-nya yang hanya berjumlah 10% dari total penduduk, berhasil menguasai 68% modal ekonomi nasional.  Di Malaysia, mereka bisa menguasai 2/3 sektor perekonomian swasta.  Padahal warga Tionghoa di negara tersebut hanya sekitar 1/3 dari jumlah penduduk.

       Di Indonesia, menurut Toto Pranoto dalam laporannya “Perilaku Manajemen Cina Dalam Praktek”  yang dimuat majalah ‘Management & Usahawan Indonesia’, Juni 1990, selain karakter yang dibawa oleh ‘darah’ kesukuannya, kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh etnis Tionghoa, ternyata juga dipengaruhi oleh perlakuan kolonial Belanda di masa lalu.  Saat para imigran dari Tiongkok datang pertama kali di Nusantara, mereka diberi peran oleh Belanda sebagai pedagang perantara.  Tetapi ketika peranan mereka semakin besar, memunculkan kekhawatiran bagi Belanda sendiri.  Maka Belanda pun menerapkan standar ganda untuk meredam kemajuan bisnis mereka.

       Di satu sisi mereka tetap sebagai penghubung dengan pihak pribumi, tetapi di sisi lain mereka dilarang terjun dalam bisnis besar yang banyak dikuasai perusahaan-perusahaan Belanda.  Ruang gerak mereka pun semakin dibatasi ketika Belanda menerapkan kebijakan wijkenstelsel.  Dalam kebijakan ini mereka harus tinggal di pemukiman khusus.  Di perkampungan yang kemudian disebut ‘pecinan’ ini, mereka dipisahkan dari golongan penduduk lain.

       Tetapi justru dalam perkampungan yang homogen ini, proses nation-building dan proses alih teknologi antar suku berjalan dengan cepat.  Hingga akhirnya mereka berkembang sebagai suatu kelompok masyarakat yang kokoh.  Dan seperti di atas, kenyataan telah membuktikan bahwa dalam situasi politik apa pun, mereka tetap survive sebagai leader dalam bidang ekonomi.

       Kekokohan mereka, salah satunya terlihat dalam cara mereka me-manage usahanya.  Menurut Toto, dalam manajemen usaha mereka, terdapat beberapa ciri spesifik dari aspek manajemen yang melekat dan diaplikasikan dalam perilaku bisnis mereka sehari-hari.  Ciri-ciri khusus ini juga bisa dikatakan sebagai filosofi bisnis orang-orang Tionghoa.

       Disebut khusus karena pola manajemen mereka berbeda dengan manajemen gaya Barat, Jepang, atau yang dipraktekkan para pengusaha pribumi.  Perbedaan yang tidak bisa dijembatani adalah perbedaan yang bersifat kultural yang memang spesifik ada pada masyarakat Tionghoa.  Kondisi mereka sebagai orang perantauan yang sering mendapatkan masalah di negeri rantau, malah menempa mereka menjadi orang yang survive, ulet, kreatif, dan spekulatif secara spartan.

Kepercayaan
       Dalam menjalankan bisnis, orang Tionghoa sangat memperhatikan kepercayaan terhadap partner bisnis.  Jika rasa percaya telah tertanam terhadap mitra bisnis, maka untuk selamanya hubungan bisnis bisa berjalan dengan baik.  Dan biasanya berjalan terus hingga generasi berikutnya.

       Tentang kepercayaan ini, ada sebuah pengalaman menarik dari seorang pengusaha asal Jakarta.  “Suatu ketika barang dagangan dalam gudang saya terbakar habis.  Saya tidak mengasuransikannya.  Banyak pihak yang pesimis dengan nasib bisnis saya selanjutnya.  Tetapi tauke saya segera memasok barang dalam jumlah yang lebih besar dan saya dapat lagi sedikit demi sedikit,” ujarnya.  Menurut dia, semua itu karena faktor kepercayaan semata-mata.  “Kita telah menjalin hubungan dagang selama belasan tahun.  Tidak ada kekhawatiran di pihak dia,” lanjutnya.

       Masalah kepercayaan ini begitu penting, sebab jika seorang pengusaha Tionghoa telah dirusak kepercayaannya oleh pihak lain maka biasanya sulit untuk memulihkan kembali kepercayaan pada pihak bersangkutan.  Tetapi sekali mereka percaya, dalam kondisi apa pun mereka akan selalu mempercayai.


Budaya Nenek Moyang
       Masyarakat Tionghoa di perantauan umumnya masih dipengaruhi oleh Confusianisme.  Segala tindakan dalam hidup selalu diperhitungkan baik-buruknya berdasarkan petunjuk-petunjuk yang diberikan ajaran tersebut.  Termasuk tindakan dalam dunia bisnis.  “Untuk menentukan kapan sebaiknya toko buka, harus menghadap ke arah mana letakknya, kapan kita boleh memperluas usaha, semuanya harus diatur sesuai petunjuk para suhu di klenteng,”  tutur seorang pengusaha dari Surabaya.

       Mereka juga memiliki penghormatan yang sangat tinggi terhadap orang tua atau orang yang lebih tua.  Ketika usaha warisan orang tua telah menjadi besar, si anak tetap memperhatikan nasehatnya.  Bahkan manifestasi dari rasa hormat pada orang tua diwujudkan sampai yang bersangkutan meninggal dunia.  Hal ini biasanya terlihat dalam bentuk bangunan makam yang mewah untuk jasad orang tuanya.  Kemewahan makam ini semata-mata sebagai perwujudan rasa bakti mereka pada orang tua.  “Mereka telah menjadikan kita berhasil dalam hidup.  Wajar kalau kita berhutang budi,”  kata seorang ahli waris pabrik tekstil di Bandung.


Kekerabatan Yang Kuat
       Kekerabatan yang kuat ini biasanya terjadi di antara keluarga satu clan.  Biasanya dalam satu clan terdapat perkumpulan yang mempersatukan ikatan kekeluargaan mereka.  Bentuk kegiatan yang dilakukan beragam mulai dari arisan untuk menolong mereka yang kekurangan modal sampai usaha untuk merujukkan anggota clan yang terlibat perselisihan antar keluarga.  Dalam hal ini peran orang yang dituakan sangat menonjol karena harus bisa menjadi panutan bagi keluarga yang lebih muda.

       Usaha bisnis orang-orang Tionghoa biasanya berbentuk perusahaan keluarga.  Dan dalam perusahaan itu, biasanya ada satu orang memegang tampuk pimpinan utama, yang membuat keputusan-keputusan bisnis.  Dengan mengelola sendiri suatu perusahaan, maka seseorang bisa mengetahui secara pasti tujuan-tujuan yang dicapainya.  Tidak akan terpengaruh oleh orang lain dari luar perusahaan, dan memberi kepuasan tersendiri.

       Bentuk yang lebih besar dan formal dari ikatan kekeluargaan antar keluarga ini adalah rumah abu.  Tempat ini bukan hanya menjadi lembaga yang mengurus persoalan kematian, tetapi juga dipakai sebagai organisasi formal yang mempersatukan orang-orang Tionghoa secara sosial.


Hubungan Dengan Pejabat
       Sifat keempat dalam perilaku bisnis orang Tionghoa adalah selalu dibinanya hubungan baik dengan pihak-pihak yang dianggap bisa mempermudah usaha mereka.  Khususnya dengan para pejabat.  Hubungan ini terutama yang berkaitan dengan keluar tidaknya ijin untuk usaha yang dijalankan.  Pebisnis Tionghoa akan berusaha mendekati dan mendapatkan relasi dengan pejabat baru bila pejabat lama berhenti atau dimutasi.  Bagi orang-orang Tionghoa, selama masih ada ‘celah’ dalam birokrasi berarti sebuah kesempatan.


Ulet Dan Kreatif
       Seorang pengusaha Tionghoa biasanya tidak langsung duduk dalam posisi nyaman ketika baru mulai menerjuni dunia usaha.  Dari masa anak-anak, mereka harus merasakan bagaimana sulitnya mencari uang.  Tidak boleh cepat merasa capai dan malu untuk itu.  Bahkan yang sering terjadi seorang anak harus belajar sambil bekerja, meski dia adalah anak seorang pengusaha besar.  Mereka dididik menjadi orang yang ulet untuk kesuksesan mereka sendiri di kemudian hari.

       Sifat kreatif terlihat dari cepatnya adaptasi yang mereka lakukan terhadap produk yang sifatnya baru.  Ketika mereka pergi ke luar negeri, mereka tidak sekadar meluruskan otot, tetapi juga melihat produk-produk baru yang sedang trend dan mencoba membawanya pulang.  Sebuah contoh menarik terjadi pada 1970-an ketika seorang pengusaha memproduksi minyak rambut ‘Tancho’ dan berhasil laku keras.  Ternyata kemudian datang gugatan dari pemilik sah merek tersebut di Jepang yang merasa produknya telah dibajak di Indonesia.  Si tergugat rupanya memang baru kembali dari lawatan ke Jepang dan mendapat ilham untuk memproduksi minyak rambut tersebut.


Berani Mengambil Resiko
       Para pengusaha Tionghoa yang sukses biasanya adalah spekulan-spekulan yang berani mengambil keputusan besar ketika kesempatan untuk mengambil resiko terbuka lebar.  Beberapa pendapat menyatakan bahwa karakter ini erat hubungannya dengan kebiasaan mereka yang senang dengan permainan-permainan bersifat judi.  “Ketika partner saya seorang Tionghoa, berencana membeli tanah di daerah ‘segitiga emas’ di Jakarta dengan harga ratusan ribu per meter persegi, saya anggap dia gila.  Tetapi ia nekat membeli.  Sekarang apa yang terjadi?  Harga tanah di kawasan tersebut telah berkembang menjadi jutaan rupiah per meter persegi!  Dan ini berlangsung dalam waktu tidak terlalu lama,”  cerita seorang pengusaha.


vœœ
Selat Taiwan, 03/03/2006. Ditulis kembali oleh pakne WSR