Hantu Suap
Anda akrab dengan internet? Sekali waktu bukalah mesin pencari www.google.com. Tulis di kolom pencarian kata ‘suap’ dan
pilih ‘cari di halaman Indonesia’, kemudian diklik.
Seketika akan muncul 15.700 lokasi web
mengenai suap. Jika satu halaman
menyajikan 10 alamat web, kita perlu mengklik 1.530 kali. Dan jika diperlukan waktu 4 detik untuk buka
satu halaman, berarti butuh dua jam untuk membuka semua lokasi yang tampil.
Di situ ada tulisan mengenai tudingan
suap para polisi, praktek suap di DPR dan DPRD, suap para wartawan, suap kepada
para pejabat negara, suap pada pimpinan partai terbesar, suap untuk hakim dan
jaksa, suap pada pemain bola, sampai pada suap beneran, yakni tatacara menyuap
bayi.
Banyaknya website yang menampilkan kata
suap sudah menjadi pembicaraan sehari-hari dan sudah menjadi bagian dari
kehidupan kita. Kenyataanya memang di
setiap kita berurusan dengan birokrat, maka suap berlaku. Tak ada suap urusan jadi tak karuan.
Saat anda mengurus surat ijin mengemudi
(SIM) misalnya, kalau mau jujur-jujuran Anda hanya dipingpong kanan kiri, dan
jangan berharap sehari bisa kelar. Tapi
dengan suap kiri kanan, Anda Cuma diminta foto dan tanda tangan, tunggu di
kantin, dua jam kemudian SIM sudah di tangan.
Hal serupa terjadi di semua
instansi. Mau mengurus ijin mendirikan
bangunan (IMB), ijin mendirikan perusahaan, membikin paspor, ijin investasi,
ikut jadi peserta tender, dll, baru beres jika disediakan uang suap. Bahkan yang aneh, membayar pajak pun harus
menyuap para petugas.
Suap sudah membudaya dalam setiap aspek
kehidupan, dan celakanya cenderung semakin akut. Suap menjadi sangat biasa. Suap sudah tidak lagi dianggap sebagai
perbuatan kriminal. Sebagian besar orang
sudah menganggapnya sebagai bagian dari rejeki yang diberikan oleh yang di
Atas.
Dari sisi ekonomi-bisnis, budaya suap
telah merontokkan daya saing perekonomian dan iklim usaha di Indonesia. Para pengusaha yang semestinya dilayani
dengan baik agar betah berinvestasi di sini, malah menjadi pihak yang harus
diperas dengan berbagai alasan.
Tak pelak, Kamar Dagang dan Industri
(Kadin) Indonesia pun kemudian menyatakan perang terhadap suap. Perang tersebut diwujudkan dalam Kampanye
Nasional Anti Suap (KNAS) 2003-2004 dan Gerakan Nasional Anti Suap (GNAS)
2005-2015.
Dalam pidato di depan peserta ASEAN
Business and Invesment Summit di Bali, PM Malaysia Mahathir Mohammad mengatakan
bahwa pemerintah jangan menjadi hantu yang menakutkan bagi dunia usaha. Karena jika hantu yang diperankan, maka
pembangunan ekonomi suatu negara akan terhambat.
Suap, dalam terminologi Mahathir
tersebut bisa dimasukkan dalam kategori hantu.
Dengan begitu, Kadin bersama komunitas bisnis yang lain, sedang
berperang melawan hantu. Akankah Kadin
akan menang dalam peperangan yang maha berat tersebut?
Hantu acap kali disamakan dengan
setan. Karena itu, senjata melawan hantu
adalah kebersihan hati, masalahnya apakah anggota Kadin dan komunitas bisnis
lain juga sudah benar-benar bersih untuk bisa melawan hantu?
Lagi pula, masalah suap menyuap, selalu
melibatkan dua pihak, yakni pihak yang menyuap dan disuap. Nah, bagaimana kalau pihak yang menyuap sudah
sadar, tapi yang ingin disuap masih saja menjadi hantu? Dipastikan tidak akan jalan.
Di jagad persuapan ini, yang lebih
menjadi kunci sebetulnya adalah penerima alias para birokrat itu. Jika mereka mengikrarkan diri tidak mau
terima, maka tak ada lagi suap menyuap.
Tapi kalau mereka masih atau bahkan minta disuap, maka keinginan
menghapus suap tinggal cita-cita.
Sanksi moral tidak lagi cukup untuk
menghukum penerima suap. Moral mereka
sudah terdegradasi ketitik paling nadir, sehingga tidak ada lagi rasa
malu. Kisah-kisah tragis kehidupan para
koruptor di masa senja tak juga mengusik mereka yang baru asyik menerima suap.
Suap semestinya hanya diberikan kepada
bayi atau anak kecil. Kalau para
penyelenggara negara masih saja ingin disuap, apa bedanya dengan anak
kecil. Pantas saja kalau kemudian negara
kita tidak bisa maju-maju.
*Tulisan
ini terinspirasi oleh KADIN yang menyatakan perang terhadap suap.
Di sadur dari:
Kitab Negara Kuli (Apa lagi yang kita punya?)
Karya Anif Punto Utomo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar