SURYA SARI ENTERPRISE: Mei 2019

Rabu, 29 Mei 2019

Akhir


Akhir
            “Kita tahu di mana kita mulai.  Kita tak pernah tahu di mana kita akan mengakhiri”

            Itu ucapan George F. Kennan, sambil duduk dengan tubuh lemah di sebuah panti perawatan.  Usia mantan diplomat Amerika termasyhur itu waktu itu 92 tahun.  Ia kemudian meninggal ketika mencapai 101 – umur yang panjang, dengan pikiran yang masih tajam.
            Hari itu, 26 September 2002, Kennan berbicara tentang niat pemerintah Bush melancarkan perang yang kini disebut “Perang Irak”.  Meramalkah dia?  Atau mengomel, seperti layaknya orang tua?
            Kedua-duanya tidak.  Dalam usianya yang lanjut, pak tua ini hanya mengingat sejarah.  Sebab ia – dibandingkan dengan Presiden Bush yang ingin tampak tegas dan gagah perkasa – telah menyaksikan sendiri berbahayanya keperkasaan dan produktifnya kesabaran.
            Kennan, lahir pada 1904, jadi diplomat sejak umur 20-an.  Ia dikirim ke Moskow sebagai salah satu staf kedutaan pada 1933, ketika Amerika Serikat membuka hubungan diplomatik dengan Uni Soviet.
            Itulah masa ketika Stalin duduk di takhta Kremlin.  Uni Soviet jadi negeri di mana ketakutan adalah politik.  Stalin menghukum mati tokoh-tokoh Partai Komunis yang dianggapnya berkhianat dan memenjarakan ribuan orang ke kamp-kamp tahanan dan melihat dunia luar dengan curiga berat.  Kennan menyaksikan semua itu.  Baginya, Uni Soviet – apalagi setelah berhasil membuat bom atom – sebuah kekuatan berbahaya yang memandang dunia dengan tatapan “neurotik”.
            Tapi diplomat itu tak menganjurkan sebuah invasi.  Di akhir masa tugasnya pada 1946, Kennan mengirim sebuah telegram sebanyak 5.300 patah kata kepada atasannya di Washington DC dengan pesan yang tegas tapi tak galak: strategi yang tepat bukan menggempur, tapi “mengurung” – dan pengurungan atau containment itu harus siap berjangka panjang, “sabar tapi kukuh dan waspada”.
            Beberapa tahun setelah itu Kennan malah makin lunak memandang Uni Soviet.  Dalam Memoirs: 1925-1950 ia mengecam orang yang memencongkan containment jadi pemicu perlombaan senjata nuklir.  Di sebuah wawancara ia bahkan menegaskan: Uni Soviet bukan negeri Hitler.  Tak tampak ada niat Kremlin untuk berperang lagi, kata Kennan, ketika harus bangkit kembali dari kelelahan Perang Dunia II.
            “Sabar tapi kukuh dan waspada” – dan ternyata itulah yang benar.  Tanpa sebutir peluru pun yang ditembakkan ke tubuhnya, Uni Soviet runtuh.  Perang tak selalu perlu, perang penuh dengan kelokan yang mendadak.  “Kita tahu di mana kita mulai.  Kita tak pernah tahu di mana kita akan mengkhiri.”
            Tapi kata-kata itu tenggelam dalam suara serak patriotisme Amerika yang menggila setelah “11/9”.  Syahdan, 20 Maret 2003, dengan restu para wakil rakyat, pasukan Amerika menyerbu Irak.  Suara serak segera bercampur dengan tepuk meriah.  Hanya dalam waktu tiga bulan perang itu selesai, Saddam Hussein lari, dan kemudian tertangkap.
            Pada 1 Mei tahun itu, sebuah potret gilang-gemilang beredar di seluruh dunia: di atas USS Abraham Lincoln, ketika kapal induk itu berada di dekat San Diego, Presiden Bush turun dari kokpit Navy One, sebuah pesawat tempur Lockheed S-3 Viking yang dipakai panglima tertinggi.  Ia mengenakan seragam perang seorang pilot, bak komandan yang baru saja pulang bertempur.  Ia melambai.  Dengan latar belakang matahari tenggelam, sebuah spanduk digelar: Mission Accomplished”.
            Tapi tugas apa yang terlaksana?  Kerja apa yang selesai?  Hari itu pun orang sudah mengomel kenapa spanduk macam itu yang dipasang.  Empat tahun kemudian, 20 Maret 2007 – setelah lebih dari 3.000 prajurit Amerika terbunuh oleh gerilyawan yang tak selamanya jelas identitasnya – orang kian tak tahu apa artinya “tugas” dan apa artinya “selesai”.
            Desember 2006: sebuah laporan dari sebuah tim studi yang dipimpin mantan menteri luar negeri James Baker diumumkan.  Kesimpulannya: “situasi di Irak gawat dan memburuk”, dan “pasukan AS tampaknya terperangkap dalam sebuah misi yang tak kelihatan akhirnya”.
            “Akhir” – betapa sukarnya kata ini dijabarkan dalam perang kali ini!  Dan betapa aneh.  Sebuah perang modern menghendaki perencanaan yang seksama.  Perencanaan ditentukan oleh “akhir”, (kata lain dari “tujuan”), yang dirumuskan persis.  Tapi Perang Irak rupanya sebuah perang yang pelaksanaannya lebih cepat selesai ketimbang usaha merumuskan apa arti “selesai”.
            Pada 20 Maret 2003 itu, tentara AS menyerbu Irak untuk menghabisi senjata pemusnah massal yang dikabarkan diproduksi rezim Saddam Hussein.  Ketika ternyata senjata itu tak ada – sebuah kisah kekonyolan yang brutal, sebenarnya – perang itu pun memaklumkan tujuan yang berbeda.  Atau Amerika berada dalam keadaan ketika sebuah dalil yang lain harus dikatakan.  Di geladak USS Abraham Lincoln Presiden Bush menyebut dua kalimat yang tak ada hubungannya dengan senjata pemusnah massal:  “Kita tengah membantu membangun kembali Irak”, dan “transisi dari kediktatoran ke demokrasi”.
            Tapi “membangun kembali Irak” dan menjaga “transisi ke demokrasi” bukanlah tujuan yang secara rapi dirumuskan dalam sebuah perencanaan.  Sebab, jika yang hendak dicapai adalah sebuah Irak yang “bangun kembali dan demokratis”, apa artinya “bangun”?  Apa artinya “demokratis”?
            Tak ada jawaban – tapi untuk kekosongan itu balatentara Amerika harus ditambah, harus lebih lama bertempur, sementara orang Irak tewas berpuluh-puluh tiap hari.  Amerika yang “menang” akhirnya hanya berarti Amerika yang “tak mundur”.
            Walhasil, Kennan benar:  “Kita tahu di mana kita mulai.  Kita tak pernah tahu di mana kita akan mengakhiri.”
            Ia bukan meramal, ia bukan mengomel.  Ia hanya melihat analogi.  Seandainya Bush menghadapi Saddam Hussein sebagaimana AS dulu menghadapi Uni Soviet, seandainya bukan invasi melainkan containment yang jadi cara berkonfrontasi……
            Tapi apa boleh buat.  Orang Amerika telah memilih sepasang pemimpin, Bush dan Cheney, yang tak tahu berbahayanya keperkasaan dan produktifnya kesabaran.

Catatan Pinggir Goenawan Mohamad, Tempo 8 April 2007.

Rabu, 22 Mei 2019

Hantu Suap


Hantu Suap

       Anda akrab dengan internet?  Sekali waktu bukalah mesin pencari www.google.com.  Tulis di kolom pencarian kata ‘suap’ dan pilih ‘cari di halaman Indonesia’, kemudian diklik.
       Seketika akan muncul 15.700 lokasi web mengenai suap.  Jika satu halaman menyajikan 10 alamat web, kita perlu mengklik 1.530 kali.  Dan jika diperlukan waktu 4 detik untuk buka satu halaman, berarti butuh dua jam untuk membuka semua lokasi yang tampil.
       Di situ ada tulisan mengenai tudingan suap para polisi, praktek suap di DPR dan DPRD, suap para wartawan, suap kepada para pejabat negara, suap pada pimpinan partai terbesar, suap untuk hakim dan jaksa, suap pada pemain bola, sampai pada suap beneran, yakni tatacara menyuap bayi.
       Banyaknya website yang menampilkan kata suap sudah menjadi pembicaraan sehari-hari dan sudah menjadi bagian dari kehidupan kita.  Kenyataanya memang di setiap kita berurusan dengan birokrat, maka suap berlaku.  Tak ada suap urusan jadi tak karuan.
       Saat anda mengurus surat ijin mengemudi (SIM) misalnya, kalau mau jujur-jujuran Anda hanya dipingpong kanan kiri, dan jangan berharap sehari bisa kelar.  Tapi dengan suap kiri kanan, Anda Cuma diminta foto dan tanda tangan, tunggu di kantin, dua jam kemudian SIM sudah di tangan.
       Hal serupa terjadi di semua instansi.  Mau mengurus ijin mendirikan bangunan (IMB), ijin mendirikan perusahaan, membikin paspor, ijin investasi, ikut jadi peserta tender, dll, baru beres jika disediakan uang suap.  Bahkan yang aneh, membayar pajak pun harus menyuap para petugas.
       Suap sudah membudaya dalam setiap aspek kehidupan, dan celakanya cenderung semakin akut.  Suap menjadi sangat biasa.  Suap sudah tidak lagi dianggap sebagai perbuatan kriminal.  Sebagian besar orang sudah menganggapnya sebagai bagian dari rejeki yang diberikan oleh yang di Atas.
       Dari sisi ekonomi-bisnis, budaya suap telah merontokkan daya saing perekonomian dan iklim usaha di Indonesia.  Para pengusaha yang semestinya dilayani dengan baik agar betah berinvestasi di sini, malah menjadi pihak yang harus diperas dengan berbagai alasan.
       Tak pelak, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia pun kemudian menyatakan perang terhadap suap.  Perang tersebut diwujudkan dalam Kampanye Nasional Anti Suap (KNAS) 2003-2004 dan Gerakan Nasional Anti Suap (GNAS) 2005-2015.
       Dalam pidato di depan peserta ASEAN Business and Invesment Summit di Bali, PM Malaysia Mahathir Mohammad mengatakan bahwa pemerintah jangan menjadi hantu yang menakutkan bagi dunia usaha.  Karena jika hantu yang diperankan, maka pembangunan ekonomi suatu negara akan terhambat.
       Suap, dalam terminologi Mahathir tersebut bisa dimasukkan dalam kategori hantu.  Dengan begitu, Kadin bersama komunitas bisnis yang lain, sedang berperang melawan hantu.  Akankah Kadin akan menang dalam peperangan yang maha berat tersebut?
       Hantu acap kali disamakan dengan setan.  Karena itu, senjata melawan hantu adalah kebersihan hati, masalahnya apakah anggota Kadin dan komunitas bisnis lain juga sudah benar-benar bersih untuk bisa melawan hantu?
       Lagi pula, masalah suap menyuap, selalu melibatkan dua pihak, yakni pihak yang menyuap dan disuap.  Nah, bagaimana kalau pihak yang menyuap sudah sadar, tapi yang ingin disuap masih saja menjadi hantu?  Dipastikan tidak akan jalan.
       Di jagad persuapan ini, yang lebih menjadi kunci sebetulnya adalah penerima alias para birokrat itu.  Jika mereka mengikrarkan diri tidak mau terima, maka tak ada lagi suap menyuap.  Tapi kalau mereka masih atau bahkan minta disuap, maka keinginan menghapus suap tinggal cita-cita.
       Sanksi moral tidak lagi cukup untuk menghukum penerima suap.  Moral mereka sudah terdegradasi ketitik paling nadir, sehingga tidak ada lagi rasa malu.  Kisah-kisah tragis kehidupan para koruptor di masa senja tak juga mengusik mereka yang baru asyik menerima suap.
       Suap semestinya hanya diberikan kepada bayi atau anak kecil.  Kalau para penyelenggara negara masih saja ingin disuap, apa bedanya dengan anak kecil.  Pantas saja kalau kemudian negara kita tidak bisa maju-maju.
*Tulisan ini terinspirasi oleh KADIN yang menyatakan perang terhadap suap.

Di sadur dari:
 Kitab Negara Kuli (Apa lagi yang kita punya?)
Karya Anif Punto Utomo  

Rabu, 15 Mei 2019

Mau Kaya...? Jadi Politisi!


Mau Kaya...? Jadi Politisi!

        Robert T. Kiyosaki, penulis buku ‘Rich Dad, Poor Dad’, memprovokasi bahwa jika kita ingin kaya maka kita harus menjalankan usaha sendiri.  Kelak hasilnya, bukan kita bekerja untuk uang, tapi uang yang bekerja untuk kita.
       Kiyosaki benar. Apalagi jika kita melihat kesuksesan Bill Gates, sebagaimana dicontohkan Kiyosaki dalam buku itu.  Godfather di bidang teknologi informasi itu, kini menjadi orang terkaya di dunia karena menjalankan usaha sendiri, Microsoft Corporation.
       Tapi barangkali dia perlu juga melakukan penelitian di Indonesia untuk memperkuat data untuk mendukung pendapatnya.  Karena di Indonesia ini ada cara pintas untuk menjadi kaya yang tidak terdapat dalam buku-bukunya.  Jalan pintas itu adalah menjadi politisi!
       Tumbangnya Soeharto pada 1998 telah mengubah peta politik nasional.  Bersamaan dengan itu kemudian muncul politisi baru yang duduk di parlemen maupun di pemerintahan.  Muka-muka baru yang dulunya biasa-biasa saja itu kini telah menjadi orang kaya raya.
       Coba kita lihat wakil Presiden Hamzah Haz yang telah belasan tahun menjadi anggota DPR.  Kekayaan yang dilaporkan ke KPKPN (Komisi Pemeriksaan Kekayaan Pejabat Negara) sebesar Rp 19,9 miliar.  Padahal kalau melihat bisnis yang digeluti tidak gede-gede amat.
       Belum lagi ketika dia bersama 107 orang pergi naik haji.  Sekitar 84 orang dibiayai sendiri dengan ongkos 6.400 dolar per kepala, sehingga totalnya Rp 5,4 miliar.  Mampukah dia membelanjakan uang sebesar itu untuk membawa rombongan haji, kalau saja dia tidak jadi politisi?
       Atau kita tengok betapa cepatnya seorang Mochamad Basuki yang tadinya tukang las, tiba-tiba menjadi kaya raya.  Kenapa?  Karena dia kini ketua DPRD Surabaya yang gajinya 39 juta per bulan, diluar tunjangan transportasi, biaya baju dinas, dan tunjangan tetek bengek lainnya.
       Politisi kini menjadi profesi menggiurkan.  Di profesi inilah akan terjadi lompatan kesejahteraan, di mana kecepatan lompatannya mengalahkan bisnis di bidang apapun.  Termasuk bisnis yang direkomendasikan Kiyosaki, yakni bisnis jaringan.
       Memang begitukah dunia politisi?  Sebetulnya tidak.  Di beberapa negara, politisi bukan profesi untuk mengeruk uang, tetapi justru membelanjakan uang.  Di sana, orang terjun ke politik ketika dia sudah tidak lagi memikirkan kebutuhan.  Mereka sudah kaya duluan, baru masuk ke politik.
       Ambil contoh Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra.  Dia terjun ke politik ketika kekayaannya sudah mencapai dua miliar dolar, hasil dari Shin Corp. yang dikomandaninya.  Tak kurang 100 juta dolar dia keluarkan untuk membiayai sendiri kampanye dan pendirian partai Thai Rak Thai.
       “Saya mungkin politisi terkaya di Thailand,” kata Thaksin dalam wawancara dengan Far Eastern Economic Review, Juni 1999.  tapi jelas kekayaannya itu bukan diperoleh ketika dia menjadi politisi.
       Begitu juga Ross Perot.  Kandidat Presiden Amerika Serikat pada 1992 dan 1996 tersebut membiayai sendiri kampanyenya sebagai calon Presiden dari kalangan independen (non partai).  Pebisnis yang pernah menjadi salesman di IBM itu ke politik setelah kekayaannya mencapai tiga miliar dolar.
       Kita mesti belajar dari Thaksin-Thaksin dan Perot-Perot lainnya.  Mereka, para politisi, terjun di dunia politik ketika perut sudah kenyang, sehingga yang dipikirkan adalah pengabdian kepada negara dan bangsa.  Peningkatan kesejahteraan rakyat menjadi prioritas.
       Pengalaman selama ini menunjukkan, kebanyakan politisi kita masuk panggung politik ketika perut lapar, sehingga apapun dimakan.  Tak heran kalau orang seperti ketua DPRD Surabaya yang sudah bergaji besar itu masih juga korupsi sehingga harus meringkuk di tahanan.  Di sini, terjun ke politik adalah untuk mencari kekuasaan dan kekayaan.
       Tak ada salahnya menjadi kaya.  Bahkan agama pun menganjurkan agar kita mencari kekayaan sebesar-besarnya sehingga bisa memberikan zakat sebanyak-banyaknya.  Masalahnya adalah, jalan apa yang kita tempuh untuk memupuk kekayaan tersebut.
       Kalau Anda suka menari di atas penderitaan orang lain, maka pilihlah profesi politisi sebagai jalan pintas menjadi kaya.

26 Februari 2003
* Artikel ini diilhami oleh begitu melejitnya kekayaan para politisi di era reformasi.
Di sadur dari:
 Kitab Negara Kuli (Apa lagi yang kita punya?)
Karya Anif Punto Utomo   

Rabu, 08 Mei 2019

Ini Lokal Lho!!!


Ini Lokal Lho!!!
       Sewaktu masih SMA atau mahasiswa, barangkali Anda menyukai tas ransel bermerek Eiger.  Kemudian celana jin memilih Lea.  Di saat santai tak lupa mengulum coklat batang SilverQueen.  Sesekali kalau bosan makan nasi, beli roti Holland Bakery.
       Setelah kerja, pakaian sudah beralih ke merek Executive atau M2000, dan untuk yang kasual memilih Wood atau Ocean Line.  Sepatu resmi memakai Edward Forrer, sedangkan untuk joging mengambil Piero.  Sekali waktu mampir di Izzi Pizza untuk mengisi perut.
       Rumah yang dicat dengan Mowilek dilengkapi dengan sanitari Halmar.  Sedangkan untuk furnitur memakai gaya minimalis dan kontemporer bermerek Vinoti Living.  Kitchen set ada Olympic, dan di dalamnya ada sekaleng kopi Excelco serta botol air mineral Equil.  Di garasi, di samping mobil ada sepeda Polygon.
***
       Barang-barang bermerek di atas, boleh dibilang termasuk untuk kelas menengah-atas (middle-up).  Merek yang dipakai tampak keren, dan sekaligus menyiratkan mutu produk terjamin.  Dan jika barang bermerek di atas menjadi pilihan Anda, maka: teruskan.
       Kenapa harus diteruskan?  Karena dengan fanatik dengan merek di atas, maka Anda menyelamatkan devisa negara.  Barang yang mereknya menggunakan kosa kata asing itu bukan dari luar negeri, melainkan buatan lokal.  Jadi ketika anda membeli, maka uang Anda berputar di negeri ini juga.
       Keuntungan lain menggunakan produk lokal adalah, jika perusahaan tersebut untung, maka uangnya akan diinvestasikan di sini, sehingga akan kembali menyerap tenaga kerja.  Kalaupun diinvestasikan keluar, maka keuntungan di negeri seberang itu akhirnya masuk ke sini juga.
       Masih ada beberapa produk lokal yang bermerek asing, dan sebagian sudah di ekspor.  Kita lihat tas Elizabeth misalnya sudah merambah nusantara.  Sepatu Sophie Martin sudah merambah Filipina dan Australia.  Ada juga sepatu Apple Green, atau barang elektronik Polytron.
       Memang, penggunaan merek asing akan terlihat semakin ‘PD’ (percaya diri).  Mereka sepertinya tidak yakin bahwa dengan menggunakan merek lokal, pasar akan menerima, terutama jika yang dibidik kelas atas.  Kebanggan terhadap kosa kata sendiri tidak ada.
       Tetapi barangkali itu memang strategi jitu untuk pasar Indonesia.  Harus diakui bahwa sebagian besar masyarakat kita tidak yakin dengan keandalan produk lokal.  Mereka juga merasa kurang gaya jika menggunakan merek lokal.
       Asing minded  telah meracuni otak kita, sehingga selalu saja secara otomatis menempatkan merek asing sebagai barang yang lebih berkualitas dibanding lokal.  Dan selalu saja menempatkan produk asing lebih bergengsi ketimbang lokal.
       Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian dari pembelanja produk lokal tersebut mengira bahwa produk yang dibeli bikinan asing.  Mungkin jika sejak awal tahu bahwa produk tersebut produk lokal, batal membeli.  Tetapi tak masalah, karena kualitas produk bagus dan tetap bergengsi.
       Kita sudah terlambat untuk bisa seperti Korea atau Jepang yang produk globalnya menggunakan merek lokal mereka.  Pada awal pembangunan, mereka memproteksi produk luar dan mengembangkan produk lokal dengan merek lokal.  Lama-kelamaan mereka ketagihan bahkan sangat PD dengan produk sendiri.
***
       Bagaimanapun, produk lokal di atas meski bermerek asing, pantas diacungi jempol.  Apalagi sebagian produk tersebut sudah diekspor ke negara maju.  Sehingga, bukan saja kita tak perlu menghamburkan devisa untuk memperoleh barang kesukaan, tetapi juga mendatangka devisa.
       Merek lokal memang penting untuk kebanggaan diri.  Tetapi membuat barang yang bisa diminati oleh orang sendiri juga tak kalah pentingnya, meskipun harus menggadaikan kosa kata sendiri.
       Produk lokal dengan merek asing juga terasa lebih berharga ketimbang merek lokal tapi dikuasai asing  (lihat, Oo...Asing Too?).  sampai pada suatu saat, masyarakat kita ketagihan akan produk lokal, dan saat itu pula dijejali produk lokal dengan merek lokal.
·       Tulisan ini terinspirasi oleh kenyataan bahwa kadang kita perlu menggunakan merek asing untuk produk lokal agar cepat laku.

Di sadur dari:
 Kitab Negara Kuli (Apa lagi yang kita punya?)
Karya Anif Punto Utomo

Jumat, 03 Mei 2019

Embun Pagi, Postingan WA Minggu, 13/05/18 07.02





Seekor ular memasuki gudang tempat kerja Seorang Tukang Kayu di malam hari. Kebiasaan Si Tukang Kayu adalah membiarkan sebagian peralatan kerjanya berserakan dan tidak merapikannya. Nah ketika ular itu masuk kesana, secara kebetulan ia merayap di atas gergaji. 
Tajamnya mata gergaji menyebabkan perut ular terluka. Ular beranggapan gergaji itu menyerangnya. Ia pun membalas dengan mematuk gergaji itu berkali-kali. Serangan yang bertubi-tubi menyebabkan luka parah di bagian mulutnya. Marah dan putus asa, ular berusaha mengerahkan kemampuan terakhirnya untuk mengalahkan musuhnya. 
Ia pun lalu membelit kuat gergaji itu. Belitan yang menyebabkan tubuhnya terluka amat parah. Akhirnya ia pun mati binasa. Di waktu lain, Si Tukang Kayu menemukan bangkai ular tersebut di sebelah gergaji kesayangannya.

Semoga kita tidak seperti ular, saat hilang kontrol dalam bersikap. Selamat beraktivitas, semoga kita semua selalu sehat dan mampu bersabar menerima kodrat-Nya. Aamiin yaa Rabbal 'alamiin.







Kata Kunci Untuk Artikel Ini :

  • perusahaan surya sari
  • cinta
  • cinta
  • kebahagiaan
  • motovasi
  • inspirasi
  • koreksi diri
  • tertarik pada diri sendiri
  • embun pagi surya sari enterprise
  • embun pagi oleh surya sari enterprise
  • embun pagi by surya sari enterprise
  • embun pagi

Kamis, 02 Mei 2019

Resep Sukses Bisnis Orang Tionghoa


Resep Sukses Bisnis Orang Tionghoa
Status sebagai perantauan dan berbagai kebijaksanaan politik yang membebani mereka, membuat orang Tionghoa memiliki cara-cara untuk sukses dalam berbisnis

       Dalam peta kekuatan bisnis di Indonesia, dari zaman ke zaman, etnis Tionghoa bisa dikatakan sebagai panglimanya.  Meski seringkali menimbulkan ‘banyak reaksi’, dominasi ekonomi mereka tidak pernah surut.  Bahkan dalam kondisi sosial ekonomi yang berbeda-beda mereka tetap survive sebagai ‘panglima ekonomi’ di negara ini.  Sejak masa kolonial, orde lama, orde baru, hingga di era penuh keterbukaan sekarang ini.

       Dan itu tidak hanya terjadi di Indonesia.  Di beberapa negeri perantauan, para ‘Overseas Tionghoa’ juga mengalami kesuksesan serupa.  Sebuah penelitian menunjukkan, di negara-negara yang didatanginya, keturunan Tionghoa bisa menguasai 60% perekonomian negara.  Menurut data Gordon Redding, Kepala Lembaga Penelitian Manajemen Universitas Hongkong, di Indonesia pada 1990-an, masyarakat Tionghoa yang berjumlah 2,1% dari keseluruhan penduduk negeri ini, bisa menguasai dari keseluruhan sektor ekonomi nasional.

       Di Thailand, dari 8% penduduk keturunan Tionghoa, bisa menguasai 60% modal nasional negara.  Demikian pula di Philipina.  Warga Tionghoa-nya yang hanya berjumlah 10% dari total penduduk, berhasil menguasai 68% modal ekonomi nasional.  Di Malaysia, mereka bisa menguasai 2/3 sektor perekonomian swasta.  Padahal warga Tionghoa di negara tersebut hanya sekitar 1/3 dari jumlah penduduk.

       Di Indonesia, menurut Toto Pranoto dalam laporannya “Perilaku Manajemen Cina Dalam Praktek”  yang dimuat majalah ‘Management & Usahawan Indonesia’, Juni 1990, selain karakter yang dibawa oleh ‘darah’ kesukuannya, kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh etnis Tionghoa, ternyata juga dipengaruhi oleh perlakuan kolonial Belanda di masa lalu.  Saat para imigran dari Tiongkok datang pertama kali di Nusantara, mereka diberi peran oleh Belanda sebagai pedagang perantara.  Tetapi ketika peranan mereka semakin besar, memunculkan kekhawatiran bagi Belanda sendiri.  Maka Belanda pun menerapkan standar ganda untuk meredam kemajuan bisnis mereka.

       Di satu sisi mereka tetap sebagai penghubung dengan pihak pribumi, tetapi di sisi lain mereka dilarang terjun dalam bisnis besar yang banyak dikuasai perusahaan-perusahaan Belanda.  Ruang gerak mereka pun semakin dibatasi ketika Belanda menerapkan kebijakan wijkenstelsel.  Dalam kebijakan ini mereka harus tinggal di pemukiman khusus.  Di perkampungan yang kemudian disebut ‘pecinan’ ini, mereka dipisahkan dari golongan penduduk lain.

       Tetapi justru dalam perkampungan yang homogen ini, proses nation-building dan proses alih teknologi antar suku berjalan dengan cepat.  Hingga akhirnya mereka berkembang sebagai suatu kelompok masyarakat yang kokoh.  Dan seperti di atas, kenyataan telah membuktikan bahwa dalam situasi politik apa pun, mereka tetap survive sebagai leader dalam bidang ekonomi.

       Kekokohan mereka, salah satunya terlihat dalam cara mereka me-manage usahanya.  Menurut Toto, dalam manajemen usaha mereka, terdapat beberapa ciri spesifik dari aspek manajemen yang melekat dan diaplikasikan dalam perilaku bisnis mereka sehari-hari.  Ciri-ciri khusus ini juga bisa dikatakan sebagai filosofi bisnis orang-orang Tionghoa.

       Disebut khusus karena pola manajemen mereka berbeda dengan manajemen gaya Barat, Jepang, atau yang dipraktekkan para pengusaha pribumi.  Perbedaan yang tidak bisa dijembatani adalah perbedaan yang bersifat kultural yang memang spesifik ada pada masyarakat Tionghoa.  Kondisi mereka sebagai orang perantauan yang sering mendapatkan masalah di negeri rantau, malah menempa mereka menjadi orang yang survive, ulet, kreatif, dan spekulatif secara spartan.

Kepercayaan
       Dalam menjalankan bisnis, orang Tionghoa sangat memperhatikan kepercayaan terhadap partner bisnis.  Jika rasa percaya telah tertanam terhadap mitra bisnis, maka untuk selamanya hubungan bisnis bisa berjalan dengan baik.  Dan biasanya berjalan terus hingga generasi berikutnya.

       Tentang kepercayaan ini, ada sebuah pengalaman menarik dari seorang pengusaha asal Jakarta.  “Suatu ketika barang dagangan dalam gudang saya terbakar habis.  Saya tidak mengasuransikannya.  Banyak pihak yang pesimis dengan nasib bisnis saya selanjutnya.  Tetapi tauke saya segera memasok barang dalam jumlah yang lebih besar dan saya dapat lagi sedikit demi sedikit,” ujarnya.  Menurut dia, semua itu karena faktor kepercayaan semata-mata.  “Kita telah menjalin hubungan dagang selama belasan tahun.  Tidak ada kekhawatiran di pihak dia,” lanjutnya.

       Masalah kepercayaan ini begitu penting, sebab jika seorang pengusaha Tionghoa telah dirusak kepercayaannya oleh pihak lain maka biasanya sulit untuk memulihkan kembali kepercayaan pada pihak bersangkutan.  Tetapi sekali mereka percaya, dalam kondisi apa pun mereka akan selalu mempercayai.


Budaya Nenek Moyang
       Masyarakat Tionghoa di perantauan umumnya masih dipengaruhi oleh Confusianisme.  Segala tindakan dalam hidup selalu diperhitungkan baik-buruknya berdasarkan petunjuk-petunjuk yang diberikan ajaran tersebut.  Termasuk tindakan dalam dunia bisnis.  “Untuk menentukan kapan sebaiknya toko buka, harus menghadap ke arah mana letakknya, kapan kita boleh memperluas usaha, semuanya harus diatur sesuai petunjuk para suhu di klenteng,”  tutur seorang pengusaha dari Surabaya.

       Mereka juga memiliki penghormatan yang sangat tinggi terhadap orang tua atau orang yang lebih tua.  Ketika usaha warisan orang tua telah menjadi besar, si anak tetap memperhatikan nasehatnya.  Bahkan manifestasi dari rasa hormat pada orang tua diwujudkan sampai yang bersangkutan meninggal dunia.  Hal ini biasanya terlihat dalam bentuk bangunan makam yang mewah untuk jasad orang tuanya.  Kemewahan makam ini semata-mata sebagai perwujudan rasa bakti mereka pada orang tua.  “Mereka telah menjadikan kita berhasil dalam hidup.  Wajar kalau kita berhutang budi,”  kata seorang ahli waris pabrik tekstil di Bandung.


Kekerabatan Yang Kuat
       Kekerabatan yang kuat ini biasanya terjadi di antara keluarga satu clan.  Biasanya dalam satu clan terdapat perkumpulan yang mempersatukan ikatan kekeluargaan mereka.  Bentuk kegiatan yang dilakukan beragam mulai dari arisan untuk menolong mereka yang kekurangan modal sampai usaha untuk merujukkan anggota clan yang terlibat perselisihan antar keluarga.  Dalam hal ini peran orang yang dituakan sangat menonjol karena harus bisa menjadi panutan bagi keluarga yang lebih muda.

       Usaha bisnis orang-orang Tionghoa biasanya berbentuk perusahaan keluarga.  Dan dalam perusahaan itu, biasanya ada satu orang memegang tampuk pimpinan utama, yang membuat keputusan-keputusan bisnis.  Dengan mengelola sendiri suatu perusahaan, maka seseorang bisa mengetahui secara pasti tujuan-tujuan yang dicapainya.  Tidak akan terpengaruh oleh orang lain dari luar perusahaan, dan memberi kepuasan tersendiri.

       Bentuk yang lebih besar dan formal dari ikatan kekeluargaan antar keluarga ini adalah rumah abu.  Tempat ini bukan hanya menjadi lembaga yang mengurus persoalan kematian, tetapi juga dipakai sebagai organisasi formal yang mempersatukan orang-orang Tionghoa secara sosial.


Hubungan Dengan Pejabat
       Sifat keempat dalam perilaku bisnis orang Tionghoa adalah selalu dibinanya hubungan baik dengan pihak-pihak yang dianggap bisa mempermudah usaha mereka.  Khususnya dengan para pejabat.  Hubungan ini terutama yang berkaitan dengan keluar tidaknya ijin untuk usaha yang dijalankan.  Pebisnis Tionghoa akan berusaha mendekati dan mendapatkan relasi dengan pejabat baru bila pejabat lama berhenti atau dimutasi.  Bagi orang-orang Tionghoa, selama masih ada ‘celah’ dalam birokrasi berarti sebuah kesempatan.


Ulet Dan Kreatif
       Seorang pengusaha Tionghoa biasanya tidak langsung duduk dalam posisi nyaman ketika baru mulai menerjuni dunia usaha.  Dari masa anak-anak, mereka harus merasakan bagaimana sulitnya mencari uang.  Tidak boleh cepat merasa capai dan malu untuk itu.  Bahkan yang sering terjadi seorang anak harus belajar sambil bekerja, meski dia adalah anak seorang pengusaha besar.  Mereka dididik menjadi orang yang ulet untuk kesuksesan mereka sendiri di kemudian hari.

       Sifat kreatif terlihat dari cepatnya adaptasi yang mereka lakukan terhadap produk yang sifatnya baru.  Ketika mereka pergi ke luar negeri, mereka tidak sekadar meluruskan otot, tetapi juga melihat produk-produk baru yang sedang trend dan mencoba membawanya pulang.  Sebuah contoh menarik terjadi pada 1970-an ketika seorang pengusaha memproduksi minyak rambut ‘Tancho’ dan berhasil laku keras.  Ternyata kemudian datang gugatan dari pemilik sah merek tersebut di Jepang yang merasa produknya telah dibajak di Indonesia.  Si tergugat rupanya memang baru kembali dari lawatan ke Jepang dan mendapat ilham untuk memproduksi minyak rambut tersebut.


Berani Mengambil Resiko
       Para pengusaha Tionghoa yang sukses biasanya adalah spekulan-spekulan yang berani mengambil keputusan besar ketika kesempatan untuk mengambil resiko terbuka lebar.  Beberapa pendapat menyatakan bahwa karakter ini erat hubungannya dengan kebiasaan mereka yang senang dengan permainan-permainan bersifat judi.  “Ketika partner saya seorang Tionghoa, berencana membeli tanah di daerah ‘segitiga emas’ di Jakarta dengan harga ratusan ribu per meter persegi, saya anggap dia gila.  Tetapi ia nekat membeli.  Sekarang apa yang terjadi?  Harga tanah di kawasan tersebut telah berkembang menjadi jutaan rupiah per meter persegi!  Dan ini berlangsung dalam waktu tidak terlalu lama,”  cerita seorang pengusaha.


vœœ
Selat Taiwan, 03/03/2006. Ditulis kembali oleh pakne WSR

Embun Pagi, Postingan WA Sabtu, 12/05/18 06.37














Pemaafan dan pengampunan memiliki daya hidup yang luar biasa, sebab mengandung kesadaran penerimaan terhadap diri, sesama, dan peristiwa yang terjadi. 

Saat kita mampu sepenuhnya menerima sesuatu yang tak pernah diharapkan, daya hidup itu mulai menjalar mengeluarkan kesejukan dan kedamaian. Sungguh pengampunan itu akan mengundang kesembuhan dan pemulihan, serta membuka berbagai pintu rezeki bagi kehidupan kita. 

Selamat beraktivitas, semoga kita semua selalu dalam bersyukur atas karunia nikmat dan kasih sayang-Nya. Aamiin yaa Rabbal 'alamiin.






Kata Kunci Untuk Artikel Ini :

  • perusahaan surya sari
  • cinta
  • cinta
  • kebahagiaan
  • motovasi
  • inspirasi
  • koreksi diri
  • tertarik pada diri sendiri
  • embun pagi surya sari enterprise
  • embun pagi oleh surya sari enterprise
  • embun pagi by surya sari enterprise
  • embun pagi

Rabu, 01 Mei 2019

Oo... Asing too?...


Oo... Asing too?...

       Agenda rutin hari minggu pagi:
v Bangun pagi usai shalat subuh langsung minum AQUA satu literan.
v Siap-siap olah raga sembari ngemil Taro untuk iseng-iseng mengisi perut.
v Lari pagi keliling komplek, berhenti sebentar di warung rokok membeli Ades kemasan 300 ml.
v Satu jam olah raga, di rumah sudah tersedia segelas susu SGM agar badan tetap fit.
v Cukup satu tegukan, segelas susu ludes, dan langsung mandi memakai sabun Lux
v Badan segar.  Baca koran sambil minum Teh hangat Sariwangi.
v Satu jam kemudian, sarapan sudah siap.  Telor ceplok tersaji di meja, ditemani Kecap cap Bango.
v Selesai sarapan baca koran dilanjutkan.  Di sebelah sudah tersedia Biskuit Helios dan Nyam-Nyam punya anak-anak untuk sekedar camilan.
v Sebentar kemudian tersedia pula kentang goreng ala Kentucky dengan ditemani Saos Tomat dan Saos Sambal ABC.
***

       Mungkin begitu agenda rutin anda tiap hari libur.  Atau setidaknya mendekatilah.  Tapi sadarkah anda bahwa makanan yang anda makan dan minuman yang anda teguk itu kelak hanya memperkaya orang-orang asing?  Pasalnya, perusahaan yang memproduksinya adalah milik orang asing.
       ABC pemilik 65 persen saham adalah H.J.Heinz (AS).  Sariwangi, Bango, dan Taro sudah 100 persen milik Unilever (Inggris).  AQUA, 74 persen dikuasai Danone (Perancis).  Helios dan Nyam-Nyam total dipegang Cambell (AS).  Ades milik Coca~Cola.  SGM lewat Sari Husada 82 persen dimiliki Numico (Belanda).
       Kalau pun anda tidak menyadarinya, tak perlu khawatir, anda tidak sendirian.  Banyak di antara kita yang tidak tahu bahwa ternyata produk-produk terkenal bemerek lokal itu sudah jatuh ke tangan Asinglewat langkah akuisisi, entah ekuisi total atau mereknya saja.  Dan kondisi seperti itu bukan Cuma di bidang barang konsumsi (consumer goods).  Karena nyaris di semua bidang usaha, asing sudah mengangkanginya.  Ibaratnya, si asing ini sudah sempurna dalam mengisi sendi-sendi kehidupan kita.
       Anda membangun rumah misalnya, maka anda butuh semen.  Mau SemenTiga Roda’ bikinan Indocement maupun Semen Gresik, semuanya sudah dikuasai asing.  Indocement dipegang Heidelberg Jerman, sedangkan Semen Gresik oleh Cemex Meksiko.
       Begitu juga saat berhubungan dengan Bank.  BCA sudah digenggam konsorsium asing Farallon (meski di dalamnya ada Grup Jarum).  Danamon juga sudah melayang ke asing yang saat ini dikuasai Asia Financial Indonesia (AFI), yang merupakan konsorsium Deutsche Bank dan Temasek Singapura.
       “Barangkali saat ini Anda sudah merasa Nasionalis”, karena sebagian kebutuhan hidup memakai produk bermerek lokal.  “Tapi kuburlah saat ini rasa Nasionalis itu.”  Merek lokal sudah tidak jaminan lagi dimiliki oleh orang lokal.  Merek lokal yang skalanya sudah me-Nasional, banyak yang berpindah tangan.
       Memang ada yang berpendapat bahwa: asing tidaklah masalah, toh mereka tetap membayar pajak, membuka lapangan kerja, dan menumbuhkan perekonomian Nasional.  Betul, tapi masalahnya, apakah kita tidak “nelangsa” (nelongso) kalau semua produk yang dikonsumsi demi keuntungan asing?.
       Repatriasi (pemulangan) keuntungan yang dibawa oleh perusahaan asing ke negeri masing-masing sangatlah besar.  Belum ada data resmi.  Tapi ada yang memperkirakan bahwa per tahun repatriasi ini bisa mencapai belasan miliar dolar.  Taruhlah 10 miliar dolar saja, itu berarti sudah Rp 85 triliun.
       Kalau saja perusahaan asing tersebut memang sejak awal menanamkan modal lewat PMA (Penanaman Modal Asing) tak begitu masalah.  Di kasus ini, perusahaan asing tersebut tinggal membeli perusahaan lokal yang pasarnya sudah jadi dan tinggal memetik keuntungan.  Kecenderungan itu klop dengan kebijakan “Meganomics” yang bermental pedagang.  Ada barang bagus dijual.  BCA bagus dijual, Indosat bagus dilego. Dan masih banyak yang lain.  Pada gilirannya, kita akan kerepotan karena begitu banyak dolar yang keluar dari Indonesia akibat dari repatriasi ini.
       Jika Anda memakai atau mengkonsumsi merek lokal, cari tahulah siapa pemiliknya.  Dan kelak akan sering anda bergumam,  “...Ooo... Asing too?”

·       Berpindahtangannya kepemilikan perusahaan lokal ke tangan asing mengilhami lahirnya artikel ini.

Di sadur dari:
 Kitab Negara Kuli (Apa lagi yang kita punya?)
Karya Anif Punto Utomo