Akhir
“Kita tahu di mana kita mulai. Kita tak pernah tahu di mana kita akan
mengakhiri”
Itu ucapan George F. Kennan, sambil
duduk dengan tubuh lemah di sebuah panti perawatan. Usia mantan diplomat Amerika termasyhur itu
waktu itu 92 tahun. Ia kemudian
meninggal ketika mencapai 101 – umur yang panjang, dengan pikiran yang masih
tajam.
Hari itu, 26 September 2002, Kennan
berbicara tentang niat pemerintah Bush melancarkan perang yang kini disebut
“Perang Irak”. Meramalkah dia? Atau mengomel, seperti layaknya orang tua?
Kedua-duanya tidak. Dalam usianya yang lanjut, pak tua ini hanya
mengingat sejarah. Sebab ia –
dibandingkan dengan Presiden Bush yang ingin tampak tegas dan gagah perkasa –
telah menyaksikan sendiri berbahayanya keperkasaan dan produktifnya kesabaran.
Kennan, lahir pada 1904, jadi
diplomat sejak umur 20-an. Ia dikirim ke
Moskow sebagai salah satu staf kedutaan pada 1933, ketika Amerika Serikat
membuka hubungan diplomatik dengan Uni Soviet.
Itulah masa ketika Stalin duduk di
takhta Kremlin. Uni Soviet jadi negeri
di mana ketakutan adalah politik. Stalin
menghukum mati tokoh-tokoh Partai Komunis yang dianggapnya berkhianat dan
memenjarakan ribuan orang ke kamp-kamp tahanan dan melihat dunia luar dengan
curiga berat. Kennan menyaksikan semua
itu. Baginya, Uni Soviet – apalagi
setelah berhasil membuat bom atom – sebuah kekuatan berbahaya yang memandang
dunia dengan tatapan “neurotik”.
Tapi diplomat itu tak menganjurkan
sebuah invasi. Di akhir masa tugasnya
pada 1946, Kennan mengirim sebuah telegram sebanyak 5.300 patah kata kepada
atasannya di Washington DC dengan pesan yang tegas tapi tak galak: strategi
yang tepat bukan menggempur, tapi “mengurung” – dan pengurungan atau containment itu harus siap berjangka
panjang, “sabar tapi kukuh dan waspada”.
Beberapa tahun setelah itu Kennan
malah makin lunak memandang Uni Soviet.
Dalam Memoirs: 1925-1950 ia
mengecam orang yang memencongkan containment
jadi pemicu perlombaan senjata nuklir.
Di sebuah wawancara ia bahkan menegaskan: Uni Soviet bukan negeri
Hitler. Tak tampak ada niat Kremlin
untuk berperang lagi, kata Kennan, ketika harus bangkit kembali dari kelelahan
Perang Dunia II.
“Sabar tapi kukuh dan waspada” – dan
ternyata itulah yang benar. Tanpa
sebutir peluru pun yang ditembakkan ke tubuhnya, Uni Soviet runtuh. Perang tak selalu perlu, perang penuh dengan
kelokan yang mendadak. “Kita tahu di
mana kita mulai. Kita tak pernah tahu di
mana kita akan mengkhiri.”
Tapi kata-kata itu tenggelam dalam
suara serak patriotisme Amerika yang menggila setelah “11/9”. Syahdan, 20 Maret 2003, dengan restu para
wakil rakyat, pasukan Amerika menyerbu Irak.
Suara serak segera bercampur dengan tepuk meriah. Hanya dalam waktu tiga bulan perang itu
selesai, Saddam Hussein lari, dan kemudian tertangkap.
Pada 1 Mei tahun itu, sebuah potret
gilang-gemilang beredar di seluruh dunia: di atas USS Abraham Lincoln, ketika
kapal induk itu berada di dekat San Diego, Presiden Bush turun dari kokpit Navy
One, sebuah pesawat tempur Lockheed S-3 Viking yang dipakai panglima
tertinggi. Ia mengenakan seragam perang
seorang pilot, bak komandan yang baru saja pulang bertempur. Ia melambai.
Dengan latar belakang matahari tenggelam, sebuah spanduk digelar: “Mission
Accomplished”.
Tapi tugas apa yang terlaksana? Kerja apa yang selesai? Hari itu pun orang sudah mengomel kenapa
spanduk macam itu yang dipasang. Empat
tahun kemudian, 20 Maret 2007 – setelah lebih dari 3.000 prajurit Amerika
terbunuh oleh gerilyawan yang tak selamanya jelas identitasnya – orang kian tak
tahu apa artinya “tugas” dan apa artinya “selesai”.
Desember 2006: sebuah laporan dari
sebuah tim studi yang dipimpin mantan menteri luar negeri James Baker
diumumkan. Kesimpulannya: “situasi di
Irak gawat dan memburuk”, dan “pasukan AS tampaknya terperangkap dalam sebuah
misi yang tak kelihatan akhirnya”.
“Akhir” – betapa sukarnya kata ini
dijabarkan dalam perang kali ini! Dan
betapa aneh. Sebuah perang modern
menghendaki perencanaan yang seksama.
Perencanaan ditentukan oleh “akhir”, (kata lain dari “tujuan”), yang
dirumuskan persis. Tapi Perang Irak
rupanya sebuah perang yang pelaksanaannya lebih cepat selesai ketimbang usaha
merumuskan apa arti “selesai”.
Pada 20 Maret 2003 itu, tentara AS
menyerbu Irak untuk menghabisi senjata pemusnah massal yang dikabarkan
diproduksi rezim Saddam Hussein. Ketika
ternyata senjata itu tak ada – sebuah kisah kekonyolan yang brutal, sebenarnya
– perang itu pun memaklumkan tujuan yang berbeda. Atau Amerika berada dalam keadaan ketika
sebuah dalil yang lain harus dikatakan.
Di geladak USS Abraham Lincoln Presiden Bush menyebut dua kalimat yang
tak ada hubungannya dengan senjata pemusnah massal: “Kita tengah membantu membangun kembali Irak”,
dan “transisi dari kediktatoran ke demokrasi”.
Tapi “membangun kembali Irak” dan
menjaga “transisi ke demokrasi” bukanlah tujuan yang secara rapi dirumuskan
dalam sebuah perencanaan. Sebab, jika
yang hendak dicapai adalah sebuah Irak yang “bangun kembali dan demokratis”,
apa artinya “bangun”? Apa artinya
“demokratis”?
Tak ada jawaban – tapi untuk
kekosongan itu balatentara Amerika harus ditambah, harus lebih lama bertempur,
sementara orang Irak tewas berpuluh-puluh tiap hari. Amerika yang “menang” akhirnya hanya berarti
Amerika yang “tak mundur”.
Walhasil, Kennan benar: “Kita tahu di mana kita mulai. Kita tak pernah tahu di mana kita akan
mengakhiri.”
Ia bukan meramal, ia bukan
mengomel. Ia hanya melihat analogi. Seandainya Bush menghadapi Saddam Hussein
sebagaimana AS dulu menghadapi Uni Soviet, seandainya bukan invasi melainkan containment yang jadi cara
berkonfrontasi……
Tapi apa boleh buat. Orang Amerika telah memilih sepasang
pemimpin, Bush dan Cheney, yang tak tahu berbahayanya keperkasaan dan
produktifnya kesabaran.
Catatan Pinggir
Goenawan Mohamad, Tempo 8 April 2007.