SURYA SARI ENTERPRISE: Bencana

Rabu, 12 Juni 2019

Bencana


Bencana

            Banjir menghancurkan dusun-dusun, gunung memuntahkan lahar yang meringsek dan membunuh, gempa meremukkan kota, tsunami meluluh-lantakkan wilayah…
            Begitu banyak orang mati, begitu luas kesengsaraan.  Ketika semua ini terjadi di sebuah masa yang dikerumuni persoalan sosial-politik yang belum juga terpecahkan, orang pun mencoba mencari penjelasan dan kemudian merasa memperolehnya.  Karena tiap bencana berarti penghancuran, orang cenderung melihat di dalamnya ada “kekuasaan” yang berhubungan di sebuah poros.  Di ujung sana: kekuasaan Tuhan atau alam – daya di luar kendali kita.  Di ujung sini: kekuasaan manusia.  Keduanya dipertautkan seakan-akan dalam satu sistem.  Atau dicocok-cocokkan…
            Hasilnya dua macam lelucon – tapi lebih baik saya menanggapinya dengan serius.
            Yang pertama lelucon yang sengaja bercanda.  Mendengar begitu banyak bencana terjadi di bawah kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, seorang kemenakan yang tangkas mengirim sebaris sandek ke telepon genggam saya:    “S-B-Y” = “Sering Bencana, Ya?”.  Tersirat dalam canda ini adalah kecenderungan umum yang melihat terjadinya bencana alam terkait dengan kekuasaan seorang presiden.
            Yang kedua adalah pendapat yang tak lucu secara tak sengaja: ada orang yang percaya bahwa bencana alam hanya dapat diterangkan sebagai indikasi sikap Tuhan yang berkuasa di alam raya terhadap kekuasaan yang ada dari Sabang sampai Merauke.  Di sini pun tampak kembali kecenderungan yang saya sebut tadi: bencana alam yang tak dapat diramal itu dianggap sebagai isyarat ada yang salah dalam kekuasaan manusia.
            Orang-orang yang menganut penjelasan itu mungkin mengira mereka punya pandangan kosmis tentang hal ihwal.  Mereka tak menyadari – dan sebab itu menggelikan – bahwa pandangan “kosmis” itu ternyata sempit.  Kompleksitas kehidupan, yang makin rumit oleh hal yang tak terduga-duga, telah mereka ringkus-dan-ringkas dan dilihat hanya sebagai akibat kekuasaan di satu poros.
            Tapi memang tak gampang menghindari kecenderungan itu.  Imajinasi tentang poros kekuasaan itu telah lama mengendap di kepala manusia.  Raja disebut “Gusti” sebagaimana Tuhan disebut “Gusti”.  Yang bertakhta pun memakai nama “Amangkurat”, “Mangkubumi”, “Hamengkubuwono”, “Paku Alam”, “Paku Buwono”, “Cakraningrat”, dan lain-lain: sebuah sugesti bahwa ada hubungan yang lempang antara kekuasaan atas planet Saturnus dan kekuasaan atas Kabupaten Sleman.
            Imajinasi itu tak hanya terdapat di Jawa, Madura, atau Bali.  Di mana-mana, kerajaan –sebuah tata duniawi – sering dianggap sebagai representasi (atau bayangan) tata kosmis.  “Tuhan di langit di atas segalanya,” begitu tertera dalam satu maklumat Mongolia, “… di bumi ini Jengis Khan-lah satu-satunya Baginda.”
            Di Eropa, jauh dari Mongolia, Eusebius dari Caesarea membayangkan poros yang mirip: baginya, daulat Raja Konstantin adalah semacam stand-in monarki surga, dan pax Romana adalah kekuasaan yang menyiapkan kerajaan Tuhan.  Gambaran ini berlanjut sampai awal zaman modern Eropa, sebagaimana diuraikan Ernst Kantorowicz dalam The King’s Two Bodies: raja seakan-akan punya dua tubuh; ia diperlakukan sebagai pribadi yang fana tapi juga penguasa yang kekal dan supernatural.
            Kemudian revolusi terjadi.  Di Inggris dan di Prancis kepala raja dipenggal di depan orang ramai.  Tubuhnya terpotong – seakan-akan dicopot pula bagian yang melambangkan sisinya yang abadi.  Demokrasi lahir.  Di Amerika Serikat sistem ini dikukuhkan Lincoln dengan kalimat yang termasyhur: “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.”
            Sejak itu penguasa yang mana pun kehilangan keniscayaan dan kekekalan.  Sejak itu praktis siapa saja punya kemungkinan berada di takhta, dan tentu saja tak dengan sendirinya dan tak untuk selama-lamanya.
            Tapi tak berarti imaji tentang poros kekuasaan tak mengambil bentuk lain.   Ia bahkan masih menampakkan jejak yang transendental, yang melampaui yang sementara dan setempat.  Kata “rakyat” sendiri bergerak maknanya; terkadang berarti “orang biasa” yang hiruk-pikuk dan bisa salah, terkadang semacam kekuatan mitologis yang dahsyat dan suci, acap kali ditulis dengan huruf “R”.
            Namun bagaimanapun bentuknya dalam retorika, tiap poros kekuasaan pada akhirnya patah: ia tak akan menyambung yang –transendental dengan yang –tidak.  Banjir yang menghancurkan dusun-dusun, gunung memuntahkan lahar, gempa yang meremukkan kota, tsunami yang meluluh-lantakkan wilayah – semua itu menunjukkan ada yang tak bersambungan: kekuasaan yang satu (“alam” atau “Tuhan”) lepas dari kekuasaan yang lain (“republik”, “negara”, juga “rakyat”).
            Juga kekuasaan ilmu pengetahuan.  Ilmu pengetahuan dapat menjelaskan sebab-musabab gempa, tapi ia tak akan dapat sepenuhnya menjelaskan kenapa si Fulan (dan bukan si Badu) yang kebetulan berada di satu tempat tewas.  Kematian adalah kesunyian masing-masing, dan tentang itu “rumus ilmu pasti yang penuh janji”, seperti disebut dalam salah satu sajak Subagio Sastrowardoyo, berhenti.
            Ada le riel, kata Lacan: ada yang selalu luput dari wacana dan tak dapat diutarakan dalam tata simbolik.  Ia menghantui kita – misalnya di depan bayi yang baru lahir kita terkesima, tak tahu dari mana nyawa itu datang dan apa yang akan terjadi pada si orok kelak.  Atau ketika malapetaka mara begitu rupa dan kita berseru “Allahu Akbar!”.
            Sebutlah itu rasa gentar: sebuah perasaan ketika kita tahu bahwa tak ada yang menyambung kekuasaan manusia dengan yang di luarnya.  Tapi bukankah itu yang menyebabkan kita – rakyat, raja, ulama, ilmuwan – berendah-hati? Banjir yang menghancurkan dusun-dusun, lahar yang mengancam dari Merapi… Aneh atau tidak, dari bencana kita bisa kembali berpikir tentang kebersamaan dan demokrasi.
Goenawan Mohamad
Catatan Pinggir Tempo 2 Juli 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar