Bencana
Banjir menghancurkan dusun-dusun, gunung memuntahkan
lahar yang meringsek dan membunuh, gempa meremukkan kota , tsunami meluluh-lantakkan wilayah…
Begitu banyak orang mati, begitu luas kesengsaraan. Ketika semua ini terjadi di sebuah masa yang
dikerumuni persoalan sosial-politik yang belum juga terpecahkan, orang pun
mencoba mencari penjelasan dan kemudian merasa memperolehnya. Karena tiap bencana berarti penghancuran,
orang cenderung melihat di dalamnya ada “kekuasaan” yang berhubungan di sebuah
poros. Di ujung sana : kekuasaan Tuhan atau alam – daya di
luar kendali kita. Di ujung sini:
kekuasaan manusia. Keduanya dipertautkan
seakan-akan dalam satu sistem. Atau
dicocok-cocokkan…
Hasilnya dua macam lelucon – tapi lebih baik saya
menanggapinya dengan serius.
Yang pertama lelucon yang sengaja bercanda. Mendengar begitu banyak bencana terjadi di
bawah kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, seorang kemenakan yang tangkas
mengirim sebaris sandek ke telepon genggam saya: “S-B-Y” = “Sering Bencana, Ya?”. Tersirat dalam canda ini adalah kecenderungan
umum yang melihat terjadinya bencana alam terkait dengan kekuasaan seorang
presiden.
Yang kedua adalah pendapat yang tak lucu secara tak
sengaja: ada orang yang percaya bahwa bencana alam hanya dapat diterangkan sebagai
indikasi sikap Tuhan yang berkuasa di alam raya terhadap kekuasaan yang ada
dari Sabang sampai Merauke. Di sini pun
tampak kembali kecenderungan yang saya sebut tadi: bencana alam yang tak dapat
diramal itu dianggap sebagai isyarat ada yang salah dalam kekuasaan manusia.
Orang-orang yang menganut penjelasan itu mungkin mengira
mereka punya pandangan kosmis tentang hal ihwal. Mereka tak menyadari – dan sebab itu
menggelikan – bahwa pandangan “kosmis” itu ternyata sempit. Kompleksitas kehidupan, yang makin rumit oleh
hal yang tak terduga-duga, telah mereka ringkus-dan-ringkas dan dilihat hanya
sebagai akibat kekuasaan di satu poros.
Tapi memang tak gampang menghindari kecenderungan
itu. Imajinasi tentang poros kekuasaan
itu telah lama mengendap di kepala manusia.
Raja disebut “Gusti” sebagaimana Tuhan disebut “Gusti”. Yang bertakhta pun memakai nama “Amangkurat”,
“Mangkubumi”, “Hamengkubuwono”, “Paku Alam”, “Paku Buwono”, “Cakraningrat”, dan
lain-lain: sebuah sugesti bahwa ada hubungan yang lempang antara kekuasaan atas
planet Saturnus dan kekuasaan atas Kabupaten Sleman.
Imajinasi itu tak hanya terdapat di Jawa, Madura, atau Bali . Di
mana-mana, kerajaan –sebuah tata duniawi – sering dianggap sebagai representasi
(atau bayangan) tata kosmis. “Tuhan di
langit di atas segalanya,” begitu tertera dalam satu maklumat Mongolia , “… di
bumi ini Jengis Khan-lah satu-satunya Baginda.”
Di Eropa, jauh dari Mongolia ,
Eusebius dari Caesarea membayangkan poros yang
mirip: baginya, daulat Raja Konstantin adalah semacam stand-in monarki surga, dan pax
Romana adalah kekuasaan yang menyiapkan kerajaan Tuhan. Gambaran ini berlanjut sampai awal zaman
modern Eropa, sebagaimana diuraikan Ernst Kantorowicz dalam The King’s Two Bodies: raja seakan-akan punya
dua tubuh; ia diperlakukan sebagai pribadi yang fana tapi juga penguasa yang
kekal dan supernatural.
Kemudian revolusi terjadi. Di Inggris dan di Prancis kepala raja
dipenggal di depan orang ramai. Tubuhnya
terpotong – seakan-akan dicopot pula bagian yang melambangkan sisinya yang
abadi. Demokrasi lahir. Di Amerika Serikat sistem ini dikukuhkan Lincoln dengan kalimat
yang termasyhur: “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.”
Sejak itu penguasa yang mana pun kehilangan keniscayaan
dan kekekalan. Sejak itu praktis siapa
saja punya kemungkinan berada di takhta, dan tentu saja tak dengan sendirinya
dan tak untuk selama-lamanya.
Tapi tak berarti imaji tentang poros kekuasaan tak
mengambil bentuk lain. Ia bahkan masih
menampakkan jejak yang transendental, yang melampaui yang sementara dan
setempat. Kata “rakyat” sendiri bergerak
maknanya; terkadang berarti “orang biasa” yang hiruk-pikuk dan bisa salah,
terkadang semacam kekuatan mitologis yang dahsyat dan suci, acap kali ditulis
dengan huruf “R”.
Namun bagaimanapun bentuknya dalam retorika, tiap poros
kekuasaan pada akhirnya patah: ia tak akan menyambung yang –transendental
dengan yang –tidak. Banjir yang
menghancurkan dusun-dusun, gunung memuntahkan lahar, gempa yang meremukkan kota , tsunami yang
meluluh-lantakkan wilayah – semua itu menunjukkan ada yang tak bersambungan:
kekuasaan yang satu (“alam” atau “Tuhan”) lepas dari kekuasaan yang lain
(“republik”, “negara”, juga “rakyat”).
Juga kekuasaan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dapat menjelaskan
sebab-musabab gempa, tapi ia tak akan dapat sepenuhnya menjelaskan kenapa si
Fulan (dan bukan si Badu) yang kebetulan berada di satu tempat tewas. Kematian adalah kesunyian masing-masing, dan
tentang itu “rumus ilmu pasti yang penuh janji”, seperti disebut dalam salah
satu sajak Subagio Sastrowardoyo, berhenti.
Sebutlah itu rasa gentar: sebuah perasaan ketika kita
tahu bahwa tak ada yang menyambung kekuasaan manusia dengan yang di
luarnya. Tapi bukankah itu yang
menyebabkan kita – rakyat, raja, ulama, ilmuwan – berendah-hati? Banjir yang
menghancurkan dusun-dusun, lahar yang mengancam dari Merapi… Aneh atau tidak,
dari bencana kita bisa kembali berpikir tentang kebersamaan dan demokrasi.
Goenawan Mohamad
Catatan Pinggir Tempo 2 Juli 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar