Filosofi
Akan
Ungkapan mesianistik yang sarat
harapan sudah melengking di udara Nusantara sejak tahun 1945, yang intinya
kira-kira berbunyi: “Di seberang jembatan emas kemerdekaan kita akan membangun
masyarakat adil makmur, gemah ripah loh jinawi, murah sandang, murah pangan,
cukup papan.” Ungkapan ini pulalah yang
kemudian diabadikan dalam Pancasila sebagai sila kelima dengan susunan redaksi
yang berbeda, tapi substansinya sama, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia .” Sila ini masih sering diulang untuk
tujuan-tujuan pragmatis, tetapi dalam kenyataan empiriknya sudah lama terkapar
dan tersungkur di medan
pertarungan politik kekuasaan dan ekonomi negeri ini.
Perhatikan kalimat ini: “kita akan membangun.” Ternyata perkataan “kita akan” telah berumur
hampir 62 tahun dalam konteks sejarah kemerdekaan Indonesia , tetapi peta kemiskinan
tidak semakin menciut, malah bertambah lebar.
Tahun 2006 BPS menurunkan angka 39,05 juta, tahun 2007 diperkirakan
menjadi 42 juta dengan rincian tambahan 2,3 juta penganggur baru plus 200.000
korban musibah alam yang terus saja berjatuhan.
Di pucuk piramida peta kemiskinan itu, bertenggerlah manusia kaya yang
berjumlah sekitar 3% (6.750.000) dari 225 juta penduduk Indonesia .
Di bawah angka itu terdapat pula lapisan
kelas menengah atas dan menengah bawah, yang berjumlah sekitar
176.250.000. penghasilan rakyat miskin
bergerak dari angka US$ 0 hingga US$ 2 (Rp 18.000) per hari. Si kaya yang menempati pucuk piramida
berpenghasilan Rp 2.000.000.000 sampai 3.000.000.000 per bulan, sedangkan kelas
menengah atas Rp 20.000.000 hingga Rp 1.500.000.000 per bulan. Di bawah angka ini, ada lapisan kelas
menengah bawah dengan penghasilan Rp 1.000.000 sampai Rp 19.000.000 per bulan.
Angka-angka itu berdasarkan
perkiraan kasar saja yang belum tentu persis begitu. Tetapi konfigurasi angka penghasilan itu
sedikit banyak sudah menunjukkan disparitas yang sangat tajam antara si kaya
dan si miskin yang belum berubah sejak zaman penjajahan di sebuah negeri yang
dulu kaya dengan sumber-sumber alam ini.
Peribahasa Melayu “ayam bertelur
di atas padi mati kelaparan; itik berenang dalam air mati kehausan” masih
tetap relevan dalam menggambarkan kondisi kemiskinan rakyat kita.
Siapa yang bertanggung jawab atas
peta kemiskinan ini? Alam yang sering
meluncurkan musibah berupa gempa, tsunami, banjir, dan yang berkaitan dengan
itu jelas menjadi faktor pula bagi kemiskinan ini, tetapi hanyalah sekitar
15%. Faktor dominan yang 85% tetaplah
berada di pundak manusia, ya kita ini semua yang tidak pandai memelihara amanah
berupa kemerdekaan sejak lebih dari 60 tahun lalu. Tentu yang paling depan adalah barisan
pemimpin yang tetap saja terpaku dan terpasung dalam kata “akan”, sementara
kata “sudah” masih jauh panggang dari api.
Janji-janji pemilu hanyalah
mengikuti filosofi “akan” itu, sementara rakyat miskin tidak jarang pula
terhipnotis oleh retorika politik yang amoral ini, tidak lupa dipayungi oleh
kutipan-kutipan firman suci. Inilah
wajah kita, wajah palsu yang tidak ragu-ragu dipakai untuk menipu rakyat yang
juga terjangkit penyakit amnesia (mudah lupa).
Untuk Indonesia ,
penyakit ini disebabkan impitan penderitaan berkepanjangan, hampir-hampir tak
tertahankan lagi. Kemerdekaan yang
disia-siakan inilah yang jadi penyebab utama mengapa Benua Kepulauan (istilah
M.T. Zen) yang elok ini telah lama menjadi permainan kekuatan-kekuatan asing
karena mereka tahu betul bahwa struktur mental kita memang telah membusuk dan
keropos dari dalam. Pejabat dan aparat sangat mudah disogok!
Memang masih banyak warga yang
siuman, tetapi terbenam di bawah arus deras mumpungisme dan filosifi
ikan lele: semakin keruh air,
semakin rakus dan lahap pula cara ia makan.
Inilah Indonesia ,
bangsa muslim terbesar di muka bumi, yang kini sedang menjadi tontonan dunia,
sementara kebanyakan politisi kita
adalah manusia lapar terhadap benda dan kekuasaan. Siang-malam obsesinya ialah agar tetap
memegang posisi melalui cara apa pun.
Untuk meraih semuanya itu, trik dan
siasat culas bukanlah barang aneh untuk dilakukan, sementara mulut komat-kamit
dalam berzikir dengan untaian tasbih panjang di tangan. Inilah panorama kumuh dan kusam yang terlihat
nyata di mana-mana, di seluruh sudut Tanah Air, hampir tanpa kecuali. Tidak peduli suku dan agama apa pun, lakunya
serupa: mengintip benda dan kuasa dengan mata melotot.
Akhirnya, selama “filosofi akan”
masih berhenti pada terminal janji, selama itu pulalah lautan kemiskinan dan
ketidakpastian akan tetap mendera bangsa ini menuju sebuah titik negara gagal
yang tak terbayangkan akibat fatalnya.
Si kaya akan semakin terancam, si miskin akan berbuat apa saja demi survival. Oleh sebab itu, seluruh kekuatan hati nurani
harus bersatu dan menyatu untuk mencegah kemungkinan serba hitam itu, agar
tidak semakin melulur tubuh dan hati bangsa yang sama kita cintai ini. Sebuah Indonesia yang berdaulat, ramah,
adil, dan makmur tetaplah menjadi tumpuan harapan kita semua. Ke sanalah mestinya kapal republik ini
bergerak dan melaju.
PERSPEKTIF Ahmad Syafii Maarif – Cendikiawan
muslim, guru besar sejarah