SURYA SARI ENTERPRISE: Juni 2019

Rabu, 26 Juni 2019

Filosofi Akan


Filosofi Akan


            Ungkapan mesianistik yang sarat harapan sudah melengking di udara Nusantara sejak tahun 1945, yang intinya kira-kira berbunyi: “Di seberang jembatan emas kemerdekaan kita akan membangun masyarakat adil makmur, gemah ripah loh jinawi, murah sandang, murah pangan, cukup papan.”  Ungkapan ini pulalah yang kemudian diabadikan dalam Pancasila sebagai sila kelima dengan susunan redaksi yang berbeda, tapi substansinya sama, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”  Sila ini masih sering diulang untuk tujuan-tujuan pragmatis, tetapi dalam kenyataan empiriknya sudah lama terkapar dan tersungkur di medan pertarungan politik kekuasaan dan ekonomi negeri ini.
            Perhatikan kalimat ini:  “kita akan membangun.”  Ternyata perkataan “kita akan” telah berumur hampir 62 tahun dalam konteks sejarah kemerdekaan Indonesia, tetapi peta kemiskinan tidak semakin menciut, malah bertambah lebar.  Tahun 2006 BPS menurunkan angka 39,05 juta, tahun 2007 diperkirakan menjadi 42 juta dengan rincian tambahan 2,3 juta penganggur baru plus 200.000 korban musibah alam yang terus saja berjatuhan.  Di pucuk piramida peta kemiskinan itu, bertenggerlah manusia kaya yang berjumlah sekitar 3% (6.750.000) dari 225 juta penduduk Indonesia.
            Di bawah angka itu terdapat pula lapisan kelas menengah atas dan menengah bawah, yang berjumlah sekitar 176.250.000.  penghasilan rakyat miskin bergerak dari angka US$ 0 hingga US$ 2 (Rp 18.000) per hari.  Si kaya yang menempati pucuk piramida berpenghasilan Rp 2.000.000.000 sampai 3.000.000.000 per bulan, sedangkan kelas menengah atas Rp 20.000.000 hingga Rp 1.500.000.000 per bulan.  Di bawah angka ini, ada lapisan kelas menengah bawah dengan penghasilan Rp 1.000.000 sampai Rp 19.000.000 per bulan.
            Angka-angka itu berdasarkan perkiraan kasar saja yang belum tentu persis begitu.  Tetapi konfigurasi angka penghasilan itu sedikit banyak sudah menunjukkan disparitas yang sangat tajam antara si kaya dan si miskin yang belum berubah sejak zaman penjajahan di sebuah negeri yang dulu kaya dengan sumber-sumber alam ini.  Peribahasa Melayu “ayam bertelur di atas padi mati kelaparan; itik berenang dalam air mati kehausan” masih tetap relevan dalam menggambarkan kondisi kemiskinan rakyat kita.
            Siapa yang bertanggung jawab atas peta kemiskinan ini?  Alam yang sering meluncurkan musibah berupa gempa, tsunami, banjir, dan yang berkaitan dengan itu jelas menjadi faktor pula bagi kemiskinan ini, tetapi hanyalah sekitar 15%.  Faktor dominan yang 85% tetaplah berada di pundak manusia, ya kita ini semua yang tidak pandai memelihara amanah berupa kemerdekaan sejak lebih dari 60 tahun lalu.  Tentu yang paling depan adalah barisan pemimpin yang tetap saja terpaku dan terpasung dalam kata “akan”, sementara kata “sudah” masih jauh panggang dari api.
            Janji-janji pemilu hanyalah mengikuti filosofi “akan” itu, sementara rakyat miskin tidak jarang pula terhipnotis oleh retorika politik yang amoral ini, tidak lupa dipayungi oleh kutipan-kutipan firman suci.  Inilah wajah kita, wajah palsu yang tidak ragu-ragu dipakai untuk menipu rakyat yang juga terjangkit penyakit amnesia (mudah lupa).  Untuk Indonesia, penyakit ini disebabkan impitan penderitaan berkepanjangan, hampir-hampir tak tertahankan lagi.  Kemerdekaan yang disia-siakan inilah yang jadi penyebab utama mengapa Benua Kepulauan (istilah M.T. Zen) yang elok ini telah lama menjadi permainan kekuatan-kekuatan asing karena mereka tahu betul bahwa struktur mental kita memang telah membusuk dan keropos dari dalam.  Pejabat dan aparat sangat mudah disogok!
            Memang masih banyak warga yang siuman, tetapi terbenam di bawah arus deras mumpungisme dan filosifi ikan lele: semakin keruh air, semakin rakus dan lahap pula cara ia makan.  Inilah Indonesia, bangsa muslim terbesar di muka bumi, yang kini sedang menjadi tontonan dunia, sementara kebanyakan politisi kita adalah manusia lapar terhadap benda dan kekuasaan.  Siang-malam obsesinya ialah agar tetap memegang posisi melalui cara apa pun.
            Untuk meraih semuanya itu, trik dan siasat culas bukanlah barang aneh untuk dilakukan, sementara mulut komat-kamit dalam berzikir dengan untaian tasbih panjang di tangan.  Inilah panorama kumuh dan kusam yang terlihat nyata di mana-mana, di seluruh sudut Tanah Air, hampir tanpa kecuali.  Tidak peduli suku dan agama apa pun, lakunya serupa: mengintip benda dan kuasa dengan mata melotot.
            Akhirnya, selama “filosofi akan” masih berhenti pada terminal janji, selama itu pulalah lautan kemiskinan dan ketidakpastian akan tetap mendera bangsa ini menuju sebuah titik negara gagal yang tak terbayangkan akibat fatalnya.  Si kaya akan semakin terancam, si miskin akan berbuat apa saja demi survival.  Oleh sebab itu, seluruh kekuatan hati nurani harus bersatu dan menyatu untuk mencegah kemungkinan serba hitam itu, agar tidak semakin melulur tubuh dan hati bangsa yang sama kita cintai ini.  Sebuah Indonesia yang berdaulat, ramah, adil, dan makmur tetaplah menjadi tumpuan harapan kita semua.  Ke sanalah mestinya kapal republik ini bergerak dan melaju.

PERSPEKTIF Ahmad Syafii Maarif – Cendikiawan muslim, guru besar sejarah

Rabu, 19 Juni 2019

Common Enemy dan Solusi Terintegrasi


 Common Enemy dan Solusi Terintegrasi


PEMBERANTASAN korupsi merupakan sebuah keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Tanpa hal tersebut, permasalahan-permasalahan yang sekian lama membelenggu bangsa ini tidak pernah selesai. Sebab inti dari segala permasalahan adalah kebobrokan attitude bernegara bangsa ini, termasuk budaya korupsi.
            Namun, lebih dari dua bulan masa pemerintahan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wapres Jusuf Kalla (JK) mengalami banyak kesulitan. Setidaknya itu tergambar dalam keluh-kesahnya pada pidato 30 hari masa pemerintahan (20/11/2004).
            Kesulitan yang dihadapi pemerintah merupakan hal yang bersifat akumulatif. Aturan pemberantasan korupsi yang kurang jelas dan multiinterpretatif merupakan sebab utama. Selain itu perilaku penegak hukum yang menyimpang merupakan permasalahan tersendiri.
            Sudah jamak diketahui, perilaku menyimpang aparat penegak hukum terdapat dalam tataran penyidik (polisi dan jaksa) maupun pembuat keputusan (decission maker) di pengadilan. Belum lagi penempatan orang yang salah (the wrong man on the wrong place) pada jajaran penegak hukum. Dengan demikian dalam hal tersebut, tugas berat jaksa agung adalah melakukan jejak rekam (track record) jajaran di bawahnya, sehingga jika ditemukan orang-orang yang tidak representatif (baca: tidak mumpuni), segera digantikan dengan orang yang lebih kompeten.

Shifting Paradigm           
            Sebuah hal yang ironis, ketika rakyat sekian lama berteriak-teriak mengenai pemberantasan korupsi, aparat masih menggunakan paradigma lama dalam melaksanakan tugasnya. Di sinilah dibutuhkan perubahan pola pikir (shifting paradigm) para penegak hukum. Pola pikir yang dimaksud adalah pola pikir progresif-reformatif dan mau meninggalkan tradisi lama, seperti keengganan menyentuh koruptor kelas kakap yang dekat dengan penguasa.
           Tentu, dalam mentradisikan sikap prgresif tersebut, dibutuhkan konsensus bersama pihak kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan seluruh elemen bangsa. Dengan merumuskan itu, diharapkan, seluruh penegak hukum dan masyarakat luas akan bekerja sama secara sinergis berperang melawan korupsi. Konsep korupsi sebagai musuh bersama (common enemy) merupakan langkah paling konkret yang harus dilakukan jajaran pemerintahan SBY-JK. Tanpa pemahaman sebagai musuh bersama, korupsi selalu beradaptasi dengan kondisi yang ada.
            Terapi kejut (shock therapy) dalam pemberantasan korupsi merupakan salah satu manifestasi kesadaran (consciousness) bahwa korupsi sebagai musuh bersama. Seperti jamak kita saksikan, hari-hari pertama setelah pengumuman Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), hampir semua anggota kabinet berjanji melakukan shock therapi dalam seratus hari pertama kerja. Ketika itu, dengan wajah berseri-seri para menteri berjanji akan melakukan terapi kejut di lingkungan kerja masing-masing. Fokusnya, agenda pemberantasan korupsi.
            Pemerintahan SBY yang menggunakan diktum ”perubahan” sebagai jargon politik memang sungguh memukau. Perubahan dalam panorama institusi penegak hukum merupakan hal sangat penting yang pernah dijanjikan. Tanpa sebuah niat perubahan kolektif, mustahil jika pemberantasan korupsi akan dapat dicapai. Bahkan, jargon perubahan yang diusung dalam kampanye SBY-JK akan menjadi bom waktu yang setiap saat meledak.
***
            Secara normatif, saya dapat mengungkapkan bahwa pemberantasan korupsi harus merupakan langkah terintegrasi semua elemen bangsa. Sebab korupsi adalah permasalahan yang kompleks dan terintegrasi. Di sanalah, perang melawan korupsi merupakan langkah yang kolektif. Langkah tersebut harus bersinergi dengan perubahan dan normalisasi kehidupan politik, pembangunan ekonomi, dan reformasi birokratis. Hal itu sesuai dengan apa yang diusulkan pemantau korupsi Indonesia (ICW) dan transparency Indonesia (TI). Tanpa langkah kolektif dan strategi terintegrasi dalam memberantas korupsi, usaha terbebas dari budaya koruptif merupakan ilusi belaka.
            Selain hal tersebut diatas, keberanian pemerintah (government brave) membuat jera koruptor kurang terlihat, pemerintah ragu dan tidak tegas (indecisive) melakukan program aksi pemberantasan korupsi. Komitmen SBY yang akan memberikan dua borgol pada jaksa agung harus ditagih.
Seperti yang dijanjikan dalam kampanye pemilihan Presiden, SBY akan memberikan dua borgol pada jaksa agung; satu borgol untuk para koruptor, satu untuk jaksa agung jika menyeleweng dari tugasnya. Pernyataan itu sungguh memikat, namun, implementasinya harus terus dituntut masyarakat luas. SBY-Kalla telah memulai masa bulan pertamanya dengan keraguan, termasuk kasus pemberantasan korupsi. Hal itu tidak perlu terjadi jika SBY-Kalla menyadari betapa besar legitimasi masyarakat terhadapnya. Sebenarnya dengan legitimasi itu, SBY-Kalla dan seluruh jajarannya mesti berani melakukan terobosan kreatif, konsisten, dan konstruktif dalam mem-follow-up-i kemauan politik memberantas korupsi. Di antaranya, mengajukan konsepsi common enemy bagi korupsi, termasuk shock therapy seperti pemberhentian pejabat publik yang terindikasi sebagai tersangka dalam kasus korupsi.

Substansi Masa Seratus Hari  
Menurut subjektivitas saya, penempatan masa seratus hari sebagai salah satu parameter keberhasilan pemberantasan korupsi merupakan hal yang keliru. Di sana, kita dapat melihat pemerintahan SBY-Kalla hanya mengambil label seratus hari, bukan substansinya. Mengingat , dalam kondisi negara yang tidak menentu — akibat krisis multidimensi — secara logika sederhana, pemerintah belum mampu berbuat apa-apa. Bagi penegak hukum, seratus hari tidak lebih dari waktu pengenalan dan dan adaptasi tugasnya.

* Munib Ansori, mahasiswa Sastra Arab Universitas Indonesia (UI) Depok.
Jawa Pos, Kamis 23 Desember 2004



Rabu, 12 Juni 2019

Bencana


Bencana

            Banjir menghancurkan dusun-dusun, gunung memuntahkan lahar yang meringsek dan membunuh, gempa meremukkan kota, tsunami meluluh-lantakkan wilayah…
            Begitu banyak orang mati, begitu luas kesengsaraan.  Ketika semua ini terjadi di sebuah masa yang dikerumuni persoalan sosial-politik yang belum juga terpecahkan, orang pun mencoba mencari penjelasan dan kemudian merasa memperolehnya.  Karena tiap bencana berarti penghancuran, orang cenderung melihat di dalamnya ada “kekuasaan” yang berhubungan di sebuah poros.  Di ujung sana: kekuasaan Tuhan atau alam – daya di luar kendali kita.  Di ujung sini: kekuasaan manusia.  Keduanya dipertautkan seakan-akan dalam satu sistem.  Atau dicocok-cocokkan…
            Hasilnya dua macam lelucon – tapi lebih baik saya menanggapinya dengan serius.
            Yang pertama lelucon yang sengaja bercanda.  Mendengar begitu banyak bencana terjadi di bawah kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, seorang kemenakan yang tangkas mengirim sebaris sandek ke telepon genggam saya:    “S-B-Y” = “Sering Bencana, Ya?”.  Tersirat dalam canda ini adalah kecenderungan umum yang melihat terjadinya bencana alam terkait dengan kekuasaan seorang presiden.
            Yang kedua adalah pendapat yang tak lucu secara tak sengaja: ada orang yang percaya bahwa bencana alam hanya dapat diterangkan sebagai indikasi sikap Tuhan yang berkuasa di alam raya terhadap kekuasaan yang ada dari Sabang sampai Merauke.  Di sini pun tampak kembali kecenderungan yang saya sebut tadi: bencana alam yang tak dapat diramal itu dianggap sebagai isyarat ada yang salah dalam kekuasaan manusia.
            Orang-orang yang menganut penjelasan itu mungkin mengira mereka punya pandangan kosmis tentang hal ihwal.  Mereka tak menyadari – dan sebab itu menggelikan – bahwa pandangan “kosmis” itu ternyata sempit.  Kompleksitas kehidupan, yang makin rumit oleh hal yang tak terduga-duga, telah mereka ringkus-dan-ringkas dan dilihat hanya sebagai akibat kekuasaan di satu poros.
            Tapi memang tak gampang menghindari kecenderungan itu.  Imajinasi tentang poros kekuasaan itu telah lama mengendap di kepala manusia.  Raja disebut “Gusti” sebagaimana Tuhan disebut “Gusti”.  Yang bertakhta pun memakai nama “Amangkurat”, “Mangkubumi”, “Hamengkubuwono”, “Paku Alam”, “Paku Buwono”, “Cakraningrat”, dan lain-lain: sebuah sugesti bahwa ada hubungan yang lempang antara kekuasaan atas planet Saturnus dan kekuasaan atas Kabupaten Sleman.
            Imajinasi itu tak hanya terdapat di Jawa, Madura, atau Bali.  Di mana-mana, kerajaan –sebuah tata duniawi – sering dianggap sebagai representasi (atau bayangan) tata kosmis.  “Tuhan di langit di atas segalanya,” begitu tertera dalam satu maklumat Mongolia, “… di bumi ini Jengis Khan-lah satu-satunya Baginda.”
            Di Eropa, jauh dari Mongolia, Eusebius dari Caesarea membayangkan poros yang mirip: baginya, daulat Raja Konstantin adalah semacam stand-in monarki surga, dan pax Romana adalah kekuasaan yang menyiapkan kerajaan Tuhan.  Gambaran ini berlanjut sampai awal zaman modern Eropa, sebagaimana diuraikan Ernst Kantorowicz dalam The King’s Two Bodies: raja seakan-akan punya dua tubuh; ia diperlakukan sebagai pribadi yang fana tapi juga penguasa yang kekal dan supernatural.
            Kemudian revolusi terjadi.  Di Inggris dan di Prancis kepala raja dipenggal di depan orang ramai.  Tubuhnya terpotong – seakan-akan dicopot pula bagian yang melambangkan sisinya yang abadi.  Demokrasi lahir.  Di Amerika Serikat sistem ini dikukuhkan Lincoln dengan kalimat yang termasyhur: “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.”
            Sejak itu penguasa yang mana pun kehilangan keniscayaan dan kekekalan.  Sejak itu praktis siapa saja punya kemungkinan berada di takhta, dan tentu saja tak dengan sendirinya dan tak untuk selama-lamanya.
            Tapi tak berarti imaji tentang poros kekuasaan tak mengambil bentuk lain.   Ia bahkan masih menampakkan jejak yang transendental, yang melampaui yang sementara dan setempat.  Kata “rakyat” sendiri bergerak maknanya; terkadang berarti “orang biasa” yang hiruk-pikuk dan bisa salah, terkadang semacam kekuatan mitologis yang dahsyat dan suci, acap kali ditulis dengan huruf “R”.
            Namun bagaimanapun bentuknya dalam retorika, tiap poros kekuasaan pada akhirnya patah: ia tak akan menyambung yang –transendental dengan yang –tidak.  Banjir yang menghancurkan dusun-dusun, gunung memuntahkan lahar, gempa yang meremukkan kota, tsunami yang meluluh-lantakkan wilayah – semua itu menunjukkan ada yang tak bersambungan: kekuasaan yang satu (“alam” atau “Tuhan”) lepas dari kekuasaan yang lain (“republik”, “negara”, juga “rakyat”).
            Juga kekuasaan ilmu pengetahuan.  Ilmu pengetahuan dapat menjelaskan sebab-musabab gempa, tapi ia tak akan dapat sepenuhnya menjelaskan kenapa si Fulan (dan bukan si Badu) yang kebetulan berada di satu tempat tewas.  Kematian adalah kesunyian masing-masing, dan tentang itu “rumus ilmu pasti yang penuh janji”, seperti disebut dalam salah satu sajak Subagio Sastrowardoyo, berhenti.
            Ada le riel, kata Lacan: ada yang selalu luput dari wacana dan tak dapat diutarakan dalam tata simbolik.  Ia menghantui kita – misalnya di depan bayi yang baru lahir kita terkesima, tak tahu dari mana nyawa itu datang dan apa yang akan terjadi pada si orok kelak.  Atau ketika malapetaka mara begitu rupa dan kita berseru “Allahu Akbar!”.
            Sebutlah itu rasa gentar: sebuah perasaan ketika kita tahu bahwa tak ada yang menyambung kekuasaan manusia dengan yang di luarnya.  Tapi bukankah itu yang menyebabkan kita – rakyat, raja, ulama, ilmuwan – berendah-hati? Banjir yang menghancurkan dusun-dusun, lahar yang mengancam dari Merapi… Aneh atau tidak, dari bencana kita bisa kembali berpikir tentang kebersamaan dan demokrasi.
Goenawan Mohamad
Catatan Pinggir Tempo 2 Juli 2006.

Rabu, 05 Juni 2019

Batas


Batas

       Bom atom dijatuhkan di Nagasaki dan Hirosima, dengan cahaya panas yang mengerikan pada bulan Agustus 1945.  jepang pun takluk.  Maka Amerika Serikat keluar dari perang besar itu dengan kekuatan yang membuat gentar siapa saja.  Tak ada yang menandingi.  Dari musim panas yang bersejarah itu, abad ke-20 seperti sudah siap menjadi “Abad Amerika”.
       Tapi pada bulan November, Walter Lippman menuliskan kata-kata itu dalam kolom regulernya, Today & Tomorrow: “Betapapun besarnya, kekuatan Amerika terbatas.”  Ia tak terbawa oleh suasana bertepuk tangan.  Ia tak hanyut.
       Saya tak tahu kenapa ia bisa melihat, sendirian, apa yang tak dilihat orang ramai itu.  Lippman pernah mencemaskan demokrasi sebagai medan “mentalitas kawanan”.  Ia melawan itu, dan anehnya terkadang ia bisa memberikan sesuatu kepada orang banyak yang tengah menghadapi tahun-tahun yang merisaukan.
       Tahun yang seperti itu tak putus-putusnya datang pada abad ke-20.  dan Lippmann pun, jurnalis terbesar pada zamannya, yang hidup antara 1889 dan 1974, telah melintasi pelbagai babagan besar dalam sejarah: dua perang dunia, beberapa dasawarsa “Perang Dingin”, dan sederet panjang pemerintahan, sejak Presiden Woodrow Wilson sampai Nixon.  Hampir tiap hari dalam hidupnya ia mengamati, merenungkan, menulis – dengan pikiran jernih dan rasa prihatin yang sejati.
       Juga ketika para pemimpin politik di Washington, DC, tengah membusungkan dada.  Menyadari diri sebagai pemegang monopoli mutlak atas senjata pemusnah, AS mulai berani berkeras menghadapi salah satu kekuatan penting yang muncul dari Perang Dunia II: Uni Soviet.  Ketika Moskow ingin meminjam uang untuk membangun ekonomi yang berantakan, Washington tak mendengarkan.  Kedua pihak memang sejak mula saling curiga, tapi sejak itu mereka jadi bermusuhan secara terbuka.  Tulis Lippmann dengan nada masygul: Amerika “tengah menuju ke sebuah bencana”.
       Bencana itu menjadi nyata ketika Uni Soviet berhasil mengembangkan senjata atom sendiri.  Sejak itu dunia hidup dalam “Perang Dingin” yang selalu hanya beberapa senti saja jaraknya dari kiamat.  Tapi dari segi lain juga bisa dikatakan bahwa justru sebab itu sebuah “perdamaian” pun berlangsung – meskipun palsu.  Setelah Uni Soviet mempunyai peluru-peluru kendali nuklir, sebuah balance of teror pun terjadi, dan kedua pihak sama-sama ketakutan untuk memulai menembak.
       Ketakutan – tapi bersama dengan itu, hilangnya ketakaburan.  Sebagaimana dikutip oleh Ronald Steel dalam Walter Lippmann and the American Century, kolumnis besar ini menyebut sebuah kata yang agak ganjil dalam politik internasional: huminity, kerendah-hatian, yang baginya jadi sember sikap arif menghadapi dunia.  Ia juga menyebut good manners, fi’il yang baik, dan courtesy of the soul, sikap santun dari batin – hal-hal yang menurut dia harus dibawakan oleh kekuatan-kekuatan besar di dunia, agar mereka “diterima oleh yang lain”.
       Suara seorang ethikus yang kuno dalam politik internasional?   Lippmann agaknya tak bermaksud demikian.  Ia hanya ingin sesuatu yang praktis: bagaimana membentuk sebuah komunitas dunia yang terasa “lebih adil”, dan sebab itu yang kuat mudah diterima oleh yang lemah, dan pemaksaan tak terjadi, hingga lebih sedikit pula kemungkinan konfliknya.  Di balik nada ethisnya, ia tak buta terhadap Realpolitik.
       Sebab itu perdamaian, baginya, bukanlah dunia yang berubah jadi satu.  Seperti John Lennon, hanya dalam lagu kita bisa membayangkan negara-negara yang hilang dari muka bumi: “Imagine, there is no country”.  Selepas lagu itu, dunia akan kembali tampak terdiri dari kekuatan yang berbeda-beda – dan Lippmann tak percaya bahwa kekuatan yang besar bersedia menyerahkan nasibnya kepada kekuatan yang lebih kecil, meskipun mereka membentuk suara mayoritas di dunia.
       Pada tahun 1943, ia menulis buku dengan judul yang kering tapi isi yang eksplosif, U.S. Foreign Policy: Shield of the Republic.  Tak disangka-sangka, buku itu terjual laris, hampir setengah juta kopi dibeli khalayak dalam waktu singkat.  Argumennya kini terasa biasa saja, namun di tengah kecamuk perang di Eropa, ketika orang memimpikan kerukunan dunia, argumen itu punya daya pukul tersendiri.
       Lippmann bertolak dari asumsi bahwa untuk kerukunan dunia, yang penting bagi setiap negeri adalah “kepentingan nasional”.  Perdamaian bukan datang bukan karena orang menafikan “kepentingan nasional”, melainkan karena sejumlah kekuatan besar bersedia bekerja sama.
       Tiap kehendak bekerja sama mengandung kesadaran akan batas – kata lain dari kerendah-hatian.  Itu sebabnya Lippmann memandang Uni Soviet dan penyebaran pengaruhnya di Eropa Timur sebagai sesuatu yang harus diterima – sebagaimana AS mempunyai “wilayah pengaruh” di bagian dunia lain.  Dunia tak mungkin dikendalikan oleh satu pusat.  Tata dunia adalah sebuah oligarki yang tidak tunggal.....
       Ini semua berubah, pada suatu hari, hampir seperempat  abad setelah Lippmann meninggal.  Tembok Berlin dihancurkan.  Uni Soviet berhenti menjadi sebuah pengimbang Amerika.  Bisakah, dan perlukah, kini Amerika bicara tentang “kerendah-hatian”?  bisakah kita, seperti Lippmann pada tahun 1945, mengatakan bahwa betapapun besarnya, kekuatan Amerika terbatas?
       Presiden Bush akan bilang “tidak”.  Ia merasa bisa mengabaikan suara PBB dan suara orang ramai di dunia, begitu ia memutuskan untuk menyerang Irak.  Batas, baginya, adalah kata yang sulit dipahami.  Ia tak pernah membaca Lippmann:   “Tak ada kiat yang lebih sulit ketimbang menjalankan sebuah kekuasaan yang besar dengan tepat...  semua tergantung bagaimana kita secara kena mengukur kekuatan kita, dan bagaimana secara benar melihat kemungkinan-kemungkinan dalam keterbatasannya...”
Goenawan Mohamad
*) Catatan Pinggir Tempo edisi 16 Maret 2003.
*) dimuat kembali pada edisi 3 Desember 2006.